Views: 146
PEKANBARU, JAPOS.CO – Ratusan masa Aliansi Masyarakat Kabupaten Siak bersama Mahasiswa, Ikatan Pemuda Karya (IPK) Provinsi Riau dan massa LSM Perisai Riau berdemo untuk menolak proses constatering dan eksekusi lahan sawit di Desa Dayun, Siak, Rabu (3/8/2022).
Dalam aksi ini, massa memblokade jalan lintas Dayun-Siak. Seluruh kendaraan dari dan menuju Siak Sri Indrapura lumpuh total. Mereka menyuarakan penolakan rencana Constatering (pencocokan) dan Eksekusi lahan yang akan dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri (PN) Siak.
Ratusan polisi dan anggota Brimob dari Polres Siak dan Polda Riau dikerahkan ke lokasi untuk mengamankan massa.
Setidaknya ada 4 orang pendemo mengalami luka saat berusaha mempertahankan posisi dalam unjukrasa di Desa Dayun, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, berakhir ricuh. Salah satu dari korban mengalami luka bakar cukup parah. Korban belakangan diketahui bernama Iskandar terluka akibat terjatuh ke bekas ban yang terbakar dan masih panas.
Dari pantauan, korban mengalami luka bakar dibagian lengan kiri, punggung dan pinggang. Setelah mengetahui sejumlah pendemo mengalami insiden, panitia segera melakukan pertolongan untuk mengobati luka dengan menggunakan P3K dan langsung korban langsung dirujuk ke Puskesmas terdekat untuk mendapat pertolongan medis.
Tepat pada pukul 11.34 WIB, pihak kepolisian kembali ke Gedung Daerah untuk pelaksanaan apel.
Tim Advokasi LSM Perisai Riau, Roni Kurniawan SH MH menyebutkan Langkah PN saat ini tidak jelas dan tidak memberikan ketegasan kepada masyarakat.
“Langkah PN hari ini tidak jelas dan tidak memberikan ketegasan kepada masyarakat sehingga apa yang disebutkan oleh PN saat menyampaikan situasi hari ini itu hanya untuk menghibur semata, katanya setelah di Constatering akan dicatat lalu disampaikan. Hal ini akan menimbulkan kerugian kepada masyarakat semasa mereka hidup. Pihak PN siak tidak tegas dalam memberikan kejelasan kepada masyarakat.
PN sendiri terkesan melindungi Mafia-mafia tanah sebab posisinya tidak tepat pada sasaran. Putusan tersebut perlu dicermati kembali oleh para pakar dan oleh Komisi Yudisial terhadap hakim-hakim yang tidak mencermati hasil putusan yang disampaikannya kepada PT.DSI dan bagi masyarakat yang dirugikan.
Ini sangat memberikan dampak negatif, bukan hanya kepada masyarakat Siak namun ini akan terjadi kepada masyarakat di seluruh Indonesia.
Makanya saya katakan perlunya mereka mengikuti aturan surat edaran yang dikeluarkan oleh Mahkama Agung No. 2 tahun 1962 untuk meninjau kembali hasil putusan yang telah dikeluarkan oleh PN Siak sehingga batas-batas dan titik koordinat yang diberikan untuk eksekusi jelas dan tegas sehingga masyarakat tidak dirugikan.
Dalam hal ini sangat jelas telah terjadi kekeliruan dan Obscuur Libel dalam mengambil keputusan sehingga keputusan itu NO atau ditolak oleh Pengadilan. Namun dalam hal ini PT. DSI mengambil keuntungan tersendiri, apakah putusan tersebut telah dibacakan dan dicermati oleh Pengadilan Negeri Siak atau oleh Juru Sita yang memeriksa Eksekusi tersebut,” ungkap Roni
“Kalau untuk urusan siapa yang lebih tinggi antara Putusan pengadilan atau Sertifikat tanah milik warga, mungkin hal ini dapat dicermati dan ditelaah kembali baik itu dari Pengadilan Negeri maupun BPN sendiri. Hal ini perlu dipahami oleh pihak BPN bahwa hasil keputusan mungkin tidak bisa membatalkan Sertifikat Hak milik masyarakat namun perlunya pihak PN Siak membahas kembali kepada BPN untuk menetapkan apakah ini salah atau benar sehingga hal yang diputuskan oleh PN itu bisa bersifat tetap dan kuat, sehingga Sertifikat yang disampaikan tersebut tidak salah.
Kita tidak bisa mengatakan siapa yang lebih tinggi, karena jika terjadi kerugian seperti ini yang menjadi pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat karena Sertifikat dipandang lebih kuat sebagai hak pemegang lahan.
Pengadilan Negeri tidak bisa membatalkan Sertifikat, yang dapat membatalkan Sertifikat adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan hal ini perlu kita cermati juga bahwa Pengadilan Negeri tidak bisa semena-mena memutuskan hasil dari Sertifikat tersebut dan putusannya bisa dikatakan gugur atau cacat hukum.
Objek yang berbeda kalau kita lihat dari putusan yang dimunculkan adalah di KM 8, namun sasaran pembacaan Constatering itu berbeda lahannya sehingga posisi dari objeknya berbeda, subjeknya berbeda sehingga tidak bisa kita katakan ini adalah hak dari PT. DSI. Kalau itu memang benar, mungkin masyarakat akan membiarkan dan tidak perlu hadir untuk memperjuangkan hak-haknya di tengah-tengah faktor hukum yang saat ini mungkin kita rasakan belum berpihak kepada masyarakat sehingga masyarakat masih harus berjuang untuk mempertahankan haknya,” terangnya lagi.
Menurutnya jarak lokasi antara lahan yang ditetapkan dengan lahan yang di constatering letaknya sangat jauh, hal ini bisa dilihat dari titik koordinatnya.
“Di sini tidak ada yang namanya lahan milik PT.DSI dan tidak ada lahan milik PT.Karya Dayun. Titik koordinatnya sangat jauh dan itu harus ditentukan pada dasarnya yang di titik awal yang disebut dengan KM 8. Jadi hal ini harus dicermati oleh masyarakat luas agar jangan memberikan keterangan yang salah. Bagi aparat penegak hukum, harus terlebih dahulu menetapkan titik-titik di mana lokasi yang akan dilakukan eksekusi,” tutup Roni Kurniawan. (AH)