Scroll untuk baca artikel
BANTENBeritaHEADLINESerang

Cegah Radikalisme, Ketua Alumni Al Azhar dari Cilegon: Pendidikan Islam Harus Kenalkan Mazhab Besar

×

Cegah Radikalisme, Ketua Alumni Al Azhar dari Cilegon: Pendidikan Islam Harus Kenalkan Mazhab Besar

Sebarkan artikel ini

Views: 180

CILEGON, JAPOS.CO – Khilafatul Muslimin pimpinan Abdul Qadir Hasan Baraja telah dilarang kegiatannya karena menyebarkan paham radikal termasuk akan mengubah Pancasila. Tokoh Kota Cilegon yang juga Ketua Alumni Al Azhar Mesir Banten Asep Sofwatullah Lc berpendapat pendidikan Islam harus mempelajari semua mazhab guna mencegah radikalisme dan sikap menang sendiri.

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

Menurut Asep Sofwatullah, Lc, lembaga pendidikan Islam perlu mengadopsi kurikulum Al Azhar Mesir. Sebagai perguruan tinggi tertua di dunia, Al Azhar Mesir mengajarkan Islam moderat yang rahmatan lil alamin.

Asep Sofwatullah dalam kapasitasnya sebagai Ketua Alumni Al Azhar Mesir untuk wilayah Banten dimintai tanggapan terkait daftar Kementerian Agama bahwa ada 30 pesantren terafiliasi Khilafatul Muslimin.

Asep Sofwatullah juga Ketua Yayasan KH Wasyid, salah seorang tokoh besar di Cilegon dan Banten yang berjuang melawan melawan Belanda pada tahun 1888. Dalam perjuangan melawan Belanda, gerakan pimpinan KH Wasyid dikenal sebagai Geger Cilegon.

“Radikalisme itu berbahaya. Untuk mencegahnya, semua lembaga pendidikan Islam harus mengenalkan mazhab besar,” kata Asep Sofwatullah.

Dalam Islam ada 4 mazhab besar yaitu Mazhab Hambali, Hanafi, Maliki dan Syafii. Dengan mempelajari berbagai mazhab, umat Islam akan lebih toleran dengan memahami dan menghormati perbedaan. Pasalnya masing-masing mazhab memiliki pendapat yang tidak selalu sama dalam menjalankan ibadah.

“Dengan mempelajari mazhab utama, umat Islam menjadi tidak fanatik terhadap satu pemahaman tertentu saja. Jadi tidak ada ngotot-ngototan dan merasa benar sendiri. Ini hal yang terpenting, menumbuhkan sikap tolerasnsi,” kata Asep Sofwatullah yang juga menjabat Sekretaris Camat Bojonegara, Cilegon.

Cara Wudhu misalnya, ada sejumlah perbedaan. Demikian juga Qunut pada saat Salat Subuh dan lain-lain.

“Jadi intinya membentuk umat Islam yang memiliki wawasan luas. Jadi tidak akan lagi mengkafirkan kelompok lain,” terang Asep Sofwatullah.

Asep mencontohkan sebelumnya antara orang NU dan Muhammadiyah sering terlibat dalam perdebatan yang tidak ada ujungnya terkait pemahaman yang berbeda. Namun belakangan, antar anggota kedua organisasi Islam terbesar Indonesia tersebut jarang muncul perdebatan yang berlarut-larut.

“Ini karena orang Muhammadiyah mempelajari NU, demikian pula orang NU mempelajari Muhammadiyah. Jadi akhirnya saling toleran,” terang lulusan Universitas Al Azhar, Mesir.

Mengenai Khilafatul Muslimin, Asep Sofwatullah menilai banyak pihak yang menyalahgunakan untuk kepentingan orang tertentu untuk berkuasa.

“Terus siapa yang menjadi khalifah, nanti akan perang terus tak henti berebut menjadi khalifah,” tutur Asep Sofwatullah.

Menurut Asep Sofwatullah, khalifah adalah pemimpin dan Indonesia sudah ada pemimpin yaitu presiden. Dan pemilihan presiden sudah ada mekanisme tertentu yang baku dan diterima semua pihak sehingga tak terjadi perang.

“Khalifah dalam bahasa bahasa Indonesia adalah pemimpin. Indonesia sudah punya pemimpin yaitu Presiden,” terang Ketua Alumni Al Azhar wilayah Banten tersebut. (Yan/ Bidhumas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *