Views: 280
DHARMASRAYA, JAPOS.CO – Kawasan Hutan Produksi (HP) diduga telah menjadi hak milik Agro Massa pasalnya sejumlah ribuan Ha tersebut telah dijual oleh warga yang dianggap kawasan tersebut miliknya. Namun selama ini Hutan Produksi itu sudah dijadikan Perkebunan kelapa sawit (Estate) Agro Massa. Namun dalam hal ini UPTD KPHP Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat diduga adanya pembiaran.
Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran Republik Indonesia BPI-KPNPA-RI Samsurijal mengatakan diduga beberapa warga yang menjual kawasan Hutan Produksi itu yang menganggap lahan tersebut miliknya, sehingga begitu mudah menjual kawasan Hutan Produksi (HP) tersebut kepada Katoni bagian dari perkebunan Agro Massa.
“Namun setelah dijadikan Kawasan Hutan Produksi menjadi areal perkebunan kelapa sawit, diduga belum mengantongi Izin Hak Guna Usaha (HGU) dan pihak Dinas UPTD KPHP Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat mengabaikan hal tersebut,” terangnya.
Hasil investigasi dilapangan, membuktikan bahwa lokasi kawasan Hutan Produksi itu berdampingan dengan hutan lindung di Kenagarian Koto Besar Kecamatan Koto Besar.
Menurut warga setempat mengatakan lahan tersebut hingga sekarang belum memiliki Jorong. Akan tetapi kawasan ini dulunya adalah bekas milik PT Ragusa, maka kawasan ini dinamakan Ragusa.
Sementara KPHP Provinsi Sumatera Barat yang enggan disebutkan namanya menjelaskan jika hal itu sudah dilakukan oleh pihak tersebut, maka pihak Dinas UPTD KPHP Kabupaten Dharmasraya telah melakukan pelanggaran Undang undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dan P3H.
Perkebunan Agro Massa Manajer yang bertanggung jawab terhadap Eksistensi perkebunan kelapa sawit itu adalah Kris, dan sebagai koordinator lapangan adalah Memet. hal tersebut diungkapkan Titin selaku karyawan dari perkebunan kelapa sawit (estate).
“Saya hanya sebatas karyawan tidak bisa memberikan informasi lebih banyak,” terang Titin.
” Disini hanya karyawan tetap staf, mandor, kerani termasuk para teknik mekanik dan para sopir. Dan untuk tenaga produksi atau panen itu hanya buruh harian lepas,” lanjutnya.
“Termasuk juga para serkel dan para perawatan, pemupukan hanya memakai tiga mandor harian dan tergantung juga berapa anggota yang dibutuhkan. Dam satu mandor memakai tenaga ada yang 7 orang, bahkan sampai 9 orang per mandor, dan hasil panen per hari 3 truk Diesel Canter Bermuatan 10 ton dikalikan 3 dengan hasil 30 ton,” katanya.
Sementara saat dikonfirmasi kepada Dinas UPTD KPHP Kabupaten Dharmasraya melalui Boby atau Habibullah seksi perlindungan KSDAE dan pemberdayaan Masyarakat mengatakan apakah itu nggak salah, bukankah itu bukan kelompok masyarakat yang memiliki perkebunan.
“Coba saja di kroscek ulang kembali,” jelasnya.
“Saya baru saja pindah ke Dharmasraya, namun dalam hal itu kita akan upayakan untuk melaksanakan kroscek ke lokasi,” lanjutnya.
Habibullah menambahkan sekarang ini tetap akan mengacu pada Undang undang Cipta Kerja No 11 tahun 2020 Peraturan Menteri (Permen) dan Peraturan Presiden (PP) 23,24 tahun 2021 No 11 ada dua arahan pertama perhutanan Sosial, Pemerintah memberikan hak kelola kepada masyarakat tentang pengelola kawasan hutan. Dan itu ada 5 skema, peetama hutan nagari, yang kedua hutan kemasyarakatan, ketiga hutan tanaman rakyat, keempat hutan kemitraan, dan MHA Masyarakat Hukum Adat, Pemerintah memberi akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan. Akan tetapi melalui perizinan itu adalah permohonan bagi masyarakat.
“Dan kedua perizinan berusaha yang dikelola oleh Cv atau PT, Yang sudah terlanjur mengelola dalam kawasan Hutan diakomodir di sini, namun disini ada pengenakan denda kepada Negara. Kemudian diakomodir dengan Undang undang ini. Namun kita jika bicara secara makro, sawit yang dalam kawasan hutan itu bukan saja di Dharmasraya saja, namun dalam skalanya sudah besar. Di Indonesia mungkin saja sudah jutaan Ha. Makanya salah satu yang melatar belakangi tentang Undang undang Cipta kerja ini, kalau sawit dalam kawasan hutan ini betul betul ditegakkan sesuai dengan Undang undang 18 dan 41, itu akan terjadi komplit di lapangan,” ungkapnya.
“Dan itu pasti tidak akan ketemu jalan keluarnya. Maka diakomodir lah dengan Undang undan Cipta kerja ini, bagi keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan, diberi kesempatan untuk panen satu daun. Dengan artian sesuai dengan usia sawit 25 tahun. Jika ada keteledoran selama 10 tahun, maka diberi kesempatan selama 15 tahun lagi. Setelah itu mereka akan menghutankan kembali. Akan tetapi mereka harus membuat izin sesuai dengan aturan yang berlaku,” tutupnya. (Basrul Chaniago)