Views: 179
BANJAR, JAPOS.CO – Kejaksaan Agung Republik Indonesia meluncurkan Rumah Restorative Justice. Peluncuran terobosan hukum ini disaksikan langsung Jaksa Agung RI, ST Burhanudin, secara virtual di Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia, termasuk Kejari Kota Banjar di Jalan Gerilya, beberapa waktu lalu.
Saat itu, di aula Lantai 2 Kejari Kota Banjar, hadir Kepala Kejari Kota Banjar, Ade Hermawan, Wali Kota Banjar, Hj. Ade Uu Sukaesih, Pejabat Forkopimda Kota Banjar , Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama serta undangan terhormat lainnya.
Restorative justice atau keadilan restoratif ini, diatur sesuai Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku atau Korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Menurut Jaksa Agung, rumah restorative justice ini sebagai tempat musyawarah masyarakat sebelum masuk ke ranah penegak hukum. Tugas penegakan hukum dan keadilan harus lebih mengutamakan perdamaian, pemulihan pada keadaan semula, bukan lagi menitikberatkan pada pemberian sanksi pidana, perampasan kemerdekaan seseorang.
“Perdamaian melalui pendekatan keadilan restoratif ini, menjadi tujuan utama dalam hukum adat. Hal ini sesuai nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sangat mengutamakan kedamaian, harmoni dan keseimbangan ditengah masyarakat, “ tutur ST Burhanudin.
Hakikat keadilan restoratif ini, kata ST Burhanudin, selaras dengan Pancasila, Sila Kedua yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan untuk diperlakukan sama di muka hukum. Kemudian, ini cerminan Sila Keempat, yaitu nilai keadilan yang diperoleh melalui musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan permasalahan.
Menurutnya, Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif membutuhkan nilai-nilai keadilan dan kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Untuk itu, Jaksa harus hadir lebih dekat di tengah masyarakat, bertemu dan menyerap aspirasi secara langsung dari tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat.
Menurut Kepala Kejari Kota Banjar, Ade Hermawan, Restorative justice atau keadilan restoratif ini, diatur sesuai Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Berdasakan Pasal 5 (1) Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Syaratnya itu, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,” ujar Ade.
Pemenuhan syarat penghentian penuntutan berdasarkankeadilan restoratif, dikatakan dia, ini dapat digunakan sebagai pertimbangan Penuntut Umum untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.
“Restorative justice, sebenarnya ini dapat diberlakukan di kepolisian. Terkait perkara yang dilimpahkan kepolisian kepada kejaksaan, sesuai kewenangan kejaksaan, ini dapat dilakukan Restorative justice, tentunya dengan syarat sesuai pertimbangan hukum dan nurani itu. Misal melakukan tindak pidana karena terdesak kebutuhan ekonomi. Ini dapat dilakukan restorative justice. Tepatnya, setelah pelaku dan korban melakukan perdamaian, kemudian korban memaafkan perbuatan pelaku,” ujar Ade.
Pada kesempatan itu, Wali Kota Banjar, Hj. Ade Uu Sukaesih mengapresiasi positif kehadiran Rumah Restorative Justice di Kota Banjar.
“Saya apresiasi dan mendukung Rumah Restorative Justice. Diharapkan ini bermanfaat untuk masyarakat di Kota Banjar,” singkatnya. (Mamay)