Scroll untuk baca artikel
BANTENBeritaDKIHEADLINEJakarta Pusat

LaNyalla: 13 November 1998, Hari Matinya Nilai Nilai Pancasila

×

LaNyalla: 13 November 1998, Hari Matinya Nilai Nilai Pancasila

Sebarkan artikel ini

Views: 229

JAKARTA, JAPOS.CO – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan tanggal 13 November 1998 sebagai hari matinya nilai-nilai Pancasila di negeri ini. Hal itu disampaikan LaNyalla saat memberikan Opening Speech di Pelantikan dan Seminar Nasional DPN PERMAHI Periode 2022-2024, Minggu (16/1/2022).

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

Pada acara yang mengambil tema ‘Implementasi Nilai-nilai Pancasila Dalam Pembangunan Hukum Nasional’ itu LaNyalla melanjutkan, tema yang diangkat oleh panitia paradoksal dengan situasi kebangsaan saat ini.

Dikatakannya, pada 13 November 1998, melalui Ketetapan Nomor 18 Tahun 1998, MPR telah mencabut Ketetapan tentang Pendoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Alasan pencabutan itu karena materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.

“Jadi dapat diartikan, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila itu sudah dianggap tidak tepat atau tidak sesuai oleh bangsa ini, sejak tanggal 13 November 1998. Mungkin kita perlu menjadikan tanggal 13 November sebagai peringatan hari kematian Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, sekaligus matinya nilai-nilai Pancasila,” tegas LaNyalla.

Senator asal Jawa Timur itu mengaku tidak heran bila di dalam bukunya, Taufikurahman Ruky menulis bahwa Pancasila hari ini ibarat raga tanpa
jiwa. Ada tapi tidak ada, seperti zombie atau walking dead.

Konsepsi demokrasi Pancasila dan sistem Ekonomi Pancasila yang digagas para pendiri bangsa, yang sesuai dengan DNA asli bangsa Indonesia juga telah total kita bongkar sejak amandemen konstitusi tahun 2002 silam.

“Ciri utama dari demokrasi Pancasila yang asli adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini,” papar LaNyalla.

Itulah mengapa pada konstitusi asli sebelum dilakukan amandemen tahun 2002, MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara. Sebab, kata LaNyalla, MPR adalah perwujudan kedaulatan rakyat dari semua elemen bangsa ini, baik itu elemen partai politik, elemen daerah-daerah, dan elemen golongan-golongan.

“Utusan Daerah adalah representasi seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Harus ada wakil-wakil dari daerah, meskipun daerah tersebut terpencil, terisolasi secara sosial-kultural, daerah khusus dan sebagainya,” ujar LaNyalla.

Pun halnya harus pula ada wakil dari golongan-golongan, seperti etnis tertentu sebagai unsur kebhinekaan, badan-badan kolektif, koperasi, petani,
nelayan, veteran, para raja dan sultan Nusantara, ulama dan rohaniawan,
cendekiawan, guru, seniman dan budayawan, penyandang cacat dan seterusnya.

“Dengan demikian, utuhlah demokrasi kita, semuanya terwakili. Tapi semua pikiran para pendiri bangsa itu sudah kita porak-porandakan melalui amandemen 20 tahun yang lalu itu,” tutur LaNyalla.

LaNyalla menegaskan tidak anti amandemen. Sebab, katanya, konstitusi itu the living law.

“Tetapi amandemen dengan membongkar total arah dan wajah bangsa adalah kecelakaan. Jika dibandingkan dengan amandemen yang dilakukan di Amerika Serikat dan India, maka Amandemen di Indonesia adalah paling brutal dan masif,” tegas LaNyalla.

Konstitusi asli Amerika Serikat terdiri dari 4.500 kata. Lalu dilakukan
Amandemen 27 kali yang hanya menambah 2.500 kata. Konstitusi India terdiri lebih dari 117.000 kata, dilakukan amandemen 104 kali, hanya menambah 30.000 kata.

“UUD 1945 asli sekitar 1.500 kata, dilakukan amandemen empat tahap menjadi 4.500 kata, yang secara substansi juga berbeda dengan
aslinya. Artinya, terjadi perubahan besar-besaran dan tidak dilakukan dengan cara adendum,” beber LaNyalla.

Hasilnya, sejak saat itu partai politik menjadi penentu tunggal arah perjalanan bangsa ini. Partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Dan hanya partai politik melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang
mengikat seluruh warga negara untuk tunduk dan patuh.

“Sebaliknya, DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan, wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan tidak memiliki ruang dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini,” ulasnya.

Faktanya, sejak amandemen saat itu hingga hari ini, entitas civil society non-partisan terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik tanpa second opinion dan tanpa reserve.

“Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all. Partai-partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen,” urai LaNyalla.

Dikatakannya, produk hukum, apapun itu, termasuk konstitusi atau Undang-Undang, sesuai sifatnya, “Lex Semper Dabit Remedium”, artinya bahwa hukum harus selalu memberi obat. Bukan sebaliknya, memberi penyakit atau persoalan.

“Kita semua tahu, ada beberapa Undang-Undang yang lahir atas pesanan sponsor. Apakah sponsor pemberi pinjaman dari luar negeri atau sponsor oligarki yang menguasai kekayaan sumber daya alam,” ungkap LaNyalla.

Menurutnya, kita juga sering mendengar kritik keras tersebut dari para akademisi dan pengamat. Tetapi tetap saja Undang-Undang tersebut lahir, meskipun ada yang berujung dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak sedikit yang terus berlaku.

Bahkan, ada juga yang dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai open legal policy. Artinya tetap sah, karena merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang.

Singkatnya, hal ini menunjukkan kepada kita adanya kepentingan kelompok tertentu yang diakomodasi oleh pembentuk Undang-Undang. (Yan/jum)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *