Views: 405
KETAPANG, JAPOS.CO – Sejumlah warga Dusun Batu Monang Desa Batu Mas Kecamatan Nanga Tayap Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat merasa dirugikan atas penanaman pohon sawit oleh PT. AMS (Agro Manunggal Sawit) di tanah mereka.
Perusahaan yang tergabung dalam PT Bumitama Gunajaya Agro (BGA) Group ini, mengklaim bahwa sawit yang ditanam di atas tanah kurang lebih 14 hektar itu adalah milik perusahaan.
Pihak perusahaan menyebut tanah dibeli dari seseorang dan telah melakukan GRTT (Ganti Rugi Tanam Tumbuh), dimana sekarang kebun tersebut menjadi asset perusahaan dan tercatat di Blok D 28 BGA.
Sementara itu pemilik tanah yang diketahui pihak kompeten, hingga saat ini merasa tidak pernah menjual dan apalagi mengalih-namakan ke pihak perusahaan.
Warga menilai pihak perusahaan merampas tanah mereka tanpa melakukan ganti rugi. Warga meminta kepada PT AMS dapat menjelaskan asal usul tanah dan menurut warga, pihak perusahaan selalu berkilah ketika ditanya siapa penjual, dan perusahaan selalu menjelaskan orang bersangkutan tidak ada di tempat.
Berdasarkan keterangan yang di dapat, sebenarnya polemik ini cukup lama terjadi. Atas prilaku perusahaan, warga beberapa kali melakukan protes, bahkan terjadi mediasi antara dua belah pihak, namun usaha itu tidak membuahkan hasil. Pihak perusahaan merasa terusik dan tidak terima kebun sawit di panen orang lain. Sedangkan warga berpikir bahwa mereka berhak atas kebun tersebut. Akibatnya, belum lama ini pihak perusahaan telah melaporkan warga ke Mapolsek Nanga Tayap atas pencurian buah sawit.
Melihat kenyataan itu, warga yang memiliki bukti kepemilikan tanah merasa gerah dan kesal. Warga mencoba menjelaskan ke polisi bahwa tanah yang ditanam sawit oleh PT AMS itu adalah tanah mereka.
Menyikapi laporan, polisi berpandangan, kasus yang terjadi antara warga dengan perusahaan sangat kental dengan perdata, polisi menyarankan agar ke dua belah pihak menyelesaikan sengketa tersebut lewat pengadilan negeri. Sementara laporan yang masuk, penyidik masih melakukan pendalaman dan telah mengundang pihak terlapor untuk melakukan klarifikasi.
Menyadari keterbatasan, warga (pemilik tanah) mencoba mencari pendamping yang bisa membantu mengatasi persoalan. Pendek kisah, melalui perkenalan teman ke teman, akhirnya Saudara Ridwan yang beralamat kota Ketapang ditunjuk dan dianggap layak.
“Setelah mempelajari laporan dan data yang ada, serta atas nama prikemanusiaan, saya menerima kuasa dari warga. Semoga konplik pemilik tanah dengan perusahaan segera berakhir dan masyarakat mendapat keadilan,” tutur Aktivis Ridwan kepada Japos.co seraya menceritakan bahwa dia telah menjajaki atas kebenaran kepemilikan tanah dengan menemui pihak-pihak terkait, Senin. (15/11/21).
“Saya telah mengunjungi para ketua yang mengetahui persis asal-usul tanah, seperti ketua RT, Kepala Desa, Temenggung Adat, mantan Kepala Dusun serta para warga tapal batas. Mereka satu suara dan membenarkan tanah dimaksud adalah tanah milik warga (pemilik tanah) yang memberi kuasa saat ini”
“Dan perlu diketahui, tanah 14 Hektar itu milik beberapa orang dan di atas tanah tersebut ditanam pohon karet dan pohon sawit. Tanah tersebut ada juga berasal dari warisan orang tua dan ada juga murni pemilik yang ada”
“Insya Allah, besok akan diadakan mediasi atau pertemuan antara warga dan perusahaan serta pihak terkait guna membahas masalah ini. Kita harap perusahaan dapat menghadirkan saksi dan data, sehingga nantinya data perusahaan bisa disandingkan dengan data kita,” tambah Ridwan menerangkan dan selanjutnya menjelaskan posisi dia dalam kasus tersebut bukan sebagai penasehat hukum namun lebih sebagai penengah untuk meluruskan dan mencari keadilan.
Asal Usul Tanah dan Konplik Dimulai
Salah seorang pemilik tanah bernama Asuan yang didampingi istrinya Doyok menceritakan bahwa benar tanah yang disenggketakan adalah milik dia. Tanah itu dibuka dari hutan belantara dan selanjutnya ditanam pohon karet. Namun, karena kebutuhan ekonomi, pada tahun 2001, kebun karet itu dijual kepada Gabrel seharga Rp. 500 ribu dengan luas sekitar 5,3 hektar.
Menurut dia, kepemilikan dan penjualan tanah telah diketahui mantan Kepala Dusun dan Temenggung adat serta warga setempat. “Kebun karet saya jual kepada Pak Gabrel bukan pada Perusahaan,” tegas Asuan sebelum dimulainya mediasi Selasa, (16/11/21).
Selanjutnya Doyok (istri Asuan) menjelaskan, sejak tanah dijual, pemilik baru (Gabrel) dan keluarganya telah mengubah sebagian status tanah dari kebun karet ke kebun sawit. Penanaman sawit dilakukan pada waktu itu dikarenakan harga karet cukup murah.
Hanya saja dikatakan Doyok, sekitar tahun 2014 bahkan beberapa tahun sebelumnya, Gabrel jarang berada di kebun. Gabrel beserta keluarga bekerja di perusahaan yang lokasinya cukup jauh, sehingga jadwal kepulangan berjangka lama.
Lanjut dijelaskan Doyok, pada tahun 2014 itu pihak perusahaan (PT AMS) hadir dan menggusur tanah Gabrel. Perusahaan mengaku tanah tersebut milik mereka. Kebun karet dan sawit yang ada diratakan alat berat dan ditanam kembali dengan pohon sawit yang baru.
“Pak Gabrel tidak berada di tempat, sementara penggusuran jalan terus. Saya juga sempat menegur pihak pekerja dan mengatakan, tanah dan kebun itu ada pemiliknya,” beber dia.
“Kejadian serupa juga terjadi pada pemilik tanah yang lain. Kebun karet dan sawit seluas 9 hektar lainnya juga ikut digusur,” terang Doyok yang diaminkan pemilik tanah lainnya yang berada di samping, dan selanjutnya Gabrel menyambung.
“Setelah pulang, saya kaget. Dimana, hamparan sawit telah memenuhi tanah saya. Ribuan pohon karet yang dapat ditoreh tidak ada lagi, sedangkan pohon sawit yang menginjak dewasa kembali seakan lahir baru,” cetus Gabrel.
Pendek kisah, Gabrel kesal dan dia bersama warga koban penggusuran lainnya mencoba menghubungi perusahaan. Mereka bertanya kenapa hal tersebut terjadi. Dan mereka juga bertanya, dengan siapa pihak perusahaan membeli tanah tersebut.
Tetapi apa yang terjadi, Perusahaan berdalih bahwa mereka telah membeli tanah itu dan melakukan GRTT. Pihak perusahaan pun seakan tidak ambil peduli apa yang terjadi.
Sejak itulah, sejumlah warga yang tanahnya digusur sepihak oleh perusahaan mengambil langkah diam. Namun setelah tahun 2018 dimana pohon yang ditanam oleh perusahaan beberapa tahun lalu menghasilkan. Pemilik tanah (warga) memanen langsung dan pihak perusahaan tidak pernah protes. Mereka berpikir kebun yang ada adalah sebagai pengganti kebun karet yang telah digusur.
Hanya saja dijelaskan, setelah tiga tahun memanen, sekitar akhir tahun 2020 lalu pihak PT AMS kembali mengklaim bahwa kebun yang ada adalah milik perusahaan. Perusahan BGA group itu pun melaporkan pemanen ke aparat hukum.
Mediasi PT AMS Tidak Hadirkan Saksi
Sesuai agenda, kegiatan mediasi guna mencari solusi antara warga dengan PT AMS dilaksanakan pada hari Selasa, 16 November 2021, di salah satu rumah warga Dusun Batu Monang Desa Batu Mas Kecamatan Nanga Tayap.
Hadir dalam acara tersebut, selain pemilik tanah, tokoh masyarakat, hadir juga perwakilan pihak manajemen perusahaan, anggota koramil dan dua anggota polisi.
Keberadaan TNI dan Polri di sana dijelaskan sebagai pengaman dan mengantisipasi hal-hal yang tidak memungkinkan.
Pantauan dilapangan, mediasi yang diprakarsai Saudara Ridwan itu, berjalan aman dan lancar. Meski sekali-kali terdengar nada keras dari pihak yang dimediasi, berkat arahan dan kepiawaian Kanit Reskrim Polsek Nanga Tayap Aiptu UM Hasibuan, debat dari berbagai pihak tidak berkepanjangandan dan dapat diatasi.
Pada pertemuan itu, banyak persoalan yang disampaikan. Diantaranya, sebagai penerima kuasa dari warga, Ridwan menjelaskan asal usul kepemilikan tanah dan menceritakan bahwa dia telah mengujungi pihak-pihak terkait.
Ridwan yang diampingi Devis, SH juga membeberkan beberapa surat tanah kepemilikan dan beberapa kwitansi jual beli dari pemilik yang lama ke pemilik yang baru, dimana selanjutnya surat-surat tersebut dibaca dan dikoreksi oleh pihak perusahaan maupun polisi.
Terdengar dan terlihat juga di sana, pemilik tanah saling berganti menyampaikan informasi historis sehingga tanah tersebut di tangan mereka. Doyok yang hadir tak ketinggalan ikut menjelaskan asal usul tanah sehingga dia menegur perusahaan menggusur tanah perkebunan, sebagaimana kisah itu ia ceritakan kepada Japos.co sebelumnya.
Sementara pihak manajemen PT ASM Widodo yang didampingi Asmano (Humas) mengatakan setiap pengelolaan kebun pasti ada dasarnya. Perusahaan sebelum melakukan penggusuran dan penanaman sawit, mereka juga melakukan GRTT.
Hanya saja dalam kesempatan tersebut, seyogyanya perusahaaan menghadirkan sipenjual dimana perusahaan berasal membeli tanah, namun tidak hadir, dikarenakan hingga saat ini yang bersangkutan belum berhasil ditemui.
Terkait data administrasi jual beli, dijelaskan juga bahwa sudah di fhoto chopy, tetapi dikatakan pihak perusahaan berkas tersebut telah diserahkan ke perangkat desa (Sekdes) Batu Mas sebelum menghadiri acara mediasi.
Sedangkan Kanit Reskirm Hasibuan menyarankan, pihak yang berseteru dapat mencari solusi melalui musyawarah dengan berkepala dingin. Mengingat persoalan tersebut terkait perdata, dia mengusulkan agar ada yang melakukan gugatan ke pengadilan negeri.
Sehubungan Kepala Desa tidak hadir, Hasibuan mengusulkan agar persengketaan antara warga dengan perusahaan dapat dimediasi ulang di tingkat desa.
“Ya bisa juga di mediasi di tingkat Desa, bisa juga di Kecamatan. Saya selalu berdoa agar permasalahan ini cepat selesai dan tidak berlarut-larut,” ucap dia.
Meskipun pertemuan (mediasi) belum melahirkan kesepakatan, namun mereka setuju untuk melaksanakan mediasi di tingkat Desa.(Tris/Har).