Views: 123
SAMOSIR, JAPOS.CO – Kesadaran ekologis dalam kehidupan bergereja kini semakin bergema di Tanah Batak. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) mengambil peran profetiknya dalam menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan hidup, khususnya di kawasan Danau Toba yang kian terancam oleh kerusakan ekologis. Dimulai sejak 24 September 2023, HKBP menetapkan Minggu Masa Penciptaan dan Ekologi sebagai momen spiritual dan ekologis untuk mengajak jemaat serta masyarakat luas melakukan refleksi dan tindakan nyata dalam pelestarian ciptaan Tuhan.
Melalui ibadah dan perayaan di seluruh jemaat HKBP, Minggu Masa Penciptaan menjadi panggilan kolektif untuk merawat alam semesta. Penegasan komitmen ini berakar pada Konfesi HKBP tahun 1996, Pasal V tentang Masyarakat dan Lingkungan, yang menegaskan bahwa pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab iman semua umat.
Doa Bersama untuk Alam Tano Batak
Komitmen tersebut semakin nyata dalam rangkaian kegiatan ekologis yang digelar pada 1 Maret dan 1 April 2025 di dua titik utama: Aula Gereja HKBP Lumbanjulu, Kabupaten Toba, dan Aula HKBP Pangururan, Kabupaten Samosir. Dalam kegiatan bertajuk “Doa Bersama Merawat Alam Tano Batak”, Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Viktor Tinambunan, memimpin ibadah bersama, sembari mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bertobat secara ekologis.
“Mari kita berbenah. Saatnya berkonsentrasi menjaga kawasan Danau Toba. Diperlukan keterlibatan seluruh kabupaten, kota, dan stakeholder di kawasan ini,” ujar Ephorus dalam pesannya.
Ia juga menyerukan agar masyarakat mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan menghentikan penebangan pohon liar yang menyebabkan kerusakan ekosistem.
Makna Pertobatan Ekologis (Metanoia)
Dalam konteks ini, pertobatan ekologis atau metanoia menjadi panggilan spiritual yang mendalam. Tidak hanya sekadar mengubah perilaku, tetapi juga membenahi cara berpikir dan bersikap terhadap alam sebagai ciptaan Tuhan.
Dalam teologi Kristen, metanoia merupakan perubahan pikiran yang membawa kepada pertobatan sejati. Konsep ini juga dipopulerkan dalam dunia manajemen oleh Peter Senge dalam bukunya The Fifth Discipline, yang menggambarkan metanoia sebagai “a shift of mind”, atau perubahan fundamental dalam cara pandang seseorang.
Paus Fransiskus dalam ensikliknya Laudato Si’ juga menyerukan pertobatan ekologis sebagai tanggapan atas krisis lingkungan global. Seruan ini telah menginspirasi banyak gereja dan keuskupan di seluruh dunia, termasuk Keuskupan Agung Medan, untuk bergerak aktif dalam upaya penyelamatan bumi sebagai rumah bersama.
Tantangan dalam Merawat Kawasan Danau Toba
Namun, gerakan ini tidak tanpa hambatan. Beberapa tantangan utama yang dihadapi antara lain:
Ketidaksesuaian antara kata dan perbuatan dari individu maupun lembaga yang mengaku peduli terhadap Danau Toba.
Masih adanya keterlibatan oknum pejabat, LSM, atau masyarakat dalam aktivitas perusakan lingkungan.
Minimnya pelibatan masyarakat lokal dan gereja dalam proses perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan program-program pelestarian lingkungan yang dijalankan pemerintah.
Strategi Pemulihan dan Perawatan Kawasan Danau Toba
Untuk mengatasi tantangan tersebut, dibutuhkan strategi konkret dan menyeluruh, antara lain:
Pertobatan Komunal – Menyadari bahwa kerusakan lingkungan adalah akibat ulah manusia, pertobatan ekologis harus dilakukan secara bersama.
Kepemimpinan Gereja – Gereja harus tampil sebagai penggerak utama, menjembatani kerja sama antar-pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pelestarian lingkungan.
Pemberdayaan Komunitas Lokal – Tokoh adat, tokoh agama, perempuan, pemuda, dan masyarakat umum harus diberi ruang dan peran untuk menjaga lingkungan hidup secara aktif dan berkelanjutan.
Langkah-Langkah Pemulihan Ekologis
Berbagai langkah konkret juga ditawarkan untuk memulihkan kerusakan di Kawasan Danau Toba:
Reboisasi Lahan Gundul – Menghutankan kembali kawasan seperti APL Tele dan eks Indo Rayon Ronggur Nihuta, bahkan menjadikannya Kebun Raya berbasis etno-botani seperti model Porlak Etno Botani Batak di Sigulatti.
Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang – Memulihkan tanah dan lereng yang rusak akibat galian C dan longsor.
Restorasi Sungai dan Pantai – Memulihkan sungai dan garis pantai Danau Toba yang rusak untuk menjaga elevasi air tetap di 905 mdpl.
Teknologi Ramah Lingkungan – Menggunakan mikroba, fitoremediasi, dan sensor canggih untuk memantau dan mengatasi limbah berbahaya.
Implementasi 4R (Reduce, Reuse, Recycle, Replant) – Seperti yang telah berhasil dilakukan di Sihotang dengan inovasi pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar dan kerajinan tangan.
Penghentian Aktivitas Merusak – Termasuk pertambangan liar dan pengenalan spesies invasif.
Perlindungan Flora dan Fauna Endemik – Menjaga keanekaragaman hayati khas Tapanuli.
Monitoring Berbasis Teknologi – Menggunakan data dan analitik untuk pengawasan lingkungan.
Edukasi dan Partisipasi Masyarakat – Menyelenggarakan pelatihan, penyuluhan, dan kegiatan komunitas yang meningkatkan kesadaran lingkungan.
Jangan Hilangkan Momentum
Seruan Ephorus HKBP tentang pertobatan ekologis dan tangisan bumi dari Kawasan Danau Toba harus dijadikan momentum penting untuk perubahan nyata. Setiap individu diajak menjalankan perannya, sekecil apa pun, sebagai wujud tanggung jawab iman dan cinta terhadap rumah bersama kita – Tano Batak dan Danau Toba.
Ayo, kita bangkit! Sambil membangun, mari kita jaga alam. Demi generasi kini dan masa depan.***
Oleh : Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec.,M.S (Penulis adalah Penggiat Lingkungan/Ketua Pergerakan Penyelamatan Kawasan Danau Toba).