Views: 76
PEKANBARU, JAPOS.CO – Persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru pada Rabu, 12 Februari 2025, menghadirkan tiga ahli yang diminta memberikan keterangan dalam perkara dugaan penganiayaan yang tengah disidangkan. Kuasa hukum terdakwa Cut Salsa, Daud Pasaribu, SH, menyatakan bahwa ketiga ahli tersebut dihadirkan untuk membuktikan adanya inkonsistensi dalam keterangan korban serta untuk menguatkan pembelaan kliennya.
“Hari ini kita telah selesai melakukan pemeriksaan ahli. Ada tiga orang ahli yang kita hadirkan, yaitu ahli psikologi forensik Bapak Sera, ahli psikologi Bapak Sigit, serta ahli pidana Dr. Zulkarnaen. Kehadiran mereka bertujuan untuk membuktikan bahwa korban memiliki inkonsistensi dalam memberikan keterangan,” ujar Daud Pasaribu kepada awak media usai persidangan.
Menurutnya, berdasarkan data yang dibaca dari berkas perkara, keterangan korban di hadapan psikolog forensik menunjukkan ketidakkonsistenan jika dibandingkan dengan keterangannya dalam berbagai tahapan pemeriksaan. Selain itu, kuasa hukum juga menyoroti kondisi psikologis korban berdasarkan latar belakangnya.
“Selama ini, dari keterangan saksi-saksi, termasuk keluarga kandung korban, terungkap bahwa korban memiliki kecenderungan untuk membuat masalah, mencoba bunuh diri, berbohong, berkata kasar kepada orang tua, serta berpura-pura pingsan. Fakta-fakta ini kami analisis bersama ahli psikologi forensik dan ahli psikologi untuk melihat apakah ada pola perilaku yang menunjukkan kecenderungan berbohong,” lanjutnya.
Ahli psikologi yang dihadirkan dalam persidangan menjelaskan bahwa seseorang dengan latar belakang demikian dapat memiliki kecenderungan untuk memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta, terutama jika merasa perlu membela atau memproteksi diri.
Kuasa hukum juga menghadirkan ahli pidana untuk menjelaskan batasan dalam pembelaan diri. Berdasarkan kronologi yang disampaikan, perkelahian antara terdakwa dan korban diduga terjadi karena terdakwa terlebih dahulu mendapatkan serangan fisik.
“Terdakwa mengalami serangan lebih dulu, rambutnya dijambak dari belakang ke depan oleh korban. Secara fisik, korban lebih tinggi dan lebih besar dari terdakwa. Dalam situasi itu, terdakwa secara spontan berusaha membela diri. Peristiwa ini menyebabkan kedua belah pihak mengalami luka-luka,” jelas Daud Pasaribu.
Menurutnya, fakta di persidangan menunjukkan bahwa kasus ini bukan murni penganiayaan sepihak. Justru, terdakwa bertindak untuk mempertahankan diri setelah mendapat serangan. Bahkan, kasus ini sudah diproses di Polresta Pekanbaru, dan korban dalam perkara ini juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara yang sama.
“Kita berharap dalam minggu ini berkas perkara dapat dinyatakan lengkap (P-21), sehingga status hukum kedua belah pihak menjadi lebih jelas. Dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan, ada indikasi bahwa korban juga bisa menjadi terdakwa dalam kasus yang sama,” tambahnya.
Salah satu poin utama yang disorot dalam persidangan adalah adanya inkonsistensi dalam keterangan korban sejak awal pemeriksaan, baik di kepolisian, di hadapan psikolog, maupun di persidangan.
“Kita bisa melihat bahwa saksi ini memiliki kebiasaan dan karakter yang tidak stabil dalam memberikan keterangan. Dalam hukum, inkonsistensi keterangan dapat membuat kebenaran suatu peristiwa menjadi tidak bernilai,” jelasnya.
Selain itu, dalam surat dakwaan, jaksa menuntut terdakwa dengan unsur luka berat. Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan ahli psikologi forensik, tidak ditemukan kesimpulan adanya luka berat atau trauma psikologis pada korban.
“Tadi di persidangan juga sudah dijelaskan oleh ahli bahwa trauma psikologis tidak bisa hanya ditentukan dalam satu kali wawancara selama empat jam. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memastikan seseorang mengalami trauma. Dalam hal ini, jaksa tidak menghadirkan ahli psikologi untuk membuktikan dalilnya, sementara kami justru menghadirkan ahli yang menerangkan bahwa tidak ada bukti kuat mengenai trauma psikologis korban,” tegas Daud Pasaribu.
Berdasarkan fakta yang terungkap, kuasa hukum berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan bahwa tindakan yang dilakukan terdakwa merupakan bentuk pembelaan diri yang sah.
“Dalam hukum pidana, jika seseorang melakukan pembelaan diri secara spontan akibat serangan, maka itu tidak dapat dikategorikan sebagai penganiayaan. Apalagi, dalam kasus ini, korban juga mengalami luka akibat perkelahian yang terjadi secara seimbang, bukan karena tindakan sepihak. Oleh karena itu, kami berharap klien kami dibebaskan atau setidaknya dilepaskan dari segala tuntutan hukum,” ujar Daud Pasaribu.
Pihaknya juga menyoroti bahwa jaksa mendalilkan korban mengalami kekerasan psikis, tetapi tidak mampu membuktikannya di persidangan.
“Jaksa tidak menghadirkan ahli untuk membuktikan adanya gangguan psikis pada korban. Sementara dari fakta persidangan, keterangan ahli justru menunjukkan bahwa trauma psikologis tidak bisa ditentukan hanya berdasarkan satu kali wawancara. Selain itu, dalam kasus ini, terdakwa hanya mempertahankan diri, dan itu merupakan alasan pemaaf dalam hukum,” tutupnya.(AH)