Views: 872
KETAPANG, JAPOS.CO – Bupati Ketapang, Martin Rantan, SH MSos menghadiri acara Haro ke-3 peresmian Balai Kepatihan Jaga Pati, pada Sabtu (04/05/2024) di Jalan S.Parman, Gg. Kelapa Gading No. 21 Ketapang.
Acara inti hari ke-3 peresmian Balai Kepatihan Jaga Pati adalah Lounching atau peluncuran buku Sumpah Kedaulatan Dayak Patih Jaga Pati, Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua, Alexander Wilyo, yang ditulis oleh Masri Sareb Putra dan Thomas Tion, dan dicetak oleh Lembaga Literasi Dayak (LLD) di Jakarta.
Sebelum lonching buku, rangkaian kegiatan peresmian Balai Kepatihan Jaga Pati hari ke-3 terlebih dahulu diawali dengan penyambutan Bupati Ketapang beserta rombongan dengan adat Penandak, menyambut tamu secara adat dari masyarakat adat Tolak Sekayok.
Usai itu, dilanjutkan dengan tari Tari panamu oleh Sanggar Kepatihan Jaga Pati, lalu diusul dengan pencak silat dari IPSI yang menampilkan pencak silat dari etnis Melayu, Madura, dan Bugis.
Rangkaian acara lounching buku Sumpah Kedaulatan Dayak terdiri dari serah-terima buku dari pihak penerbit kepada penulis, kemudian dari penulis buku kemudian diserah-terimakan kepada Patih Jaga Pati. Setelah itu, Patih Jaga Pati pun menanda-tangani back drop cover buku Sumpah Kedaulatan Dayak dengan tinta emas.
Pada kesempatan lounching buku ini, para tokoh lintas etnis: Dayak, Tionghoa, Melayu, Madura pun mendapat kesempatan untuk memberikan sepatah-dua patah kata sambutan. Dalam sambutan mereka, para ketua paguyuban etnis di Ketapang sangat mengapresiasi peresmian Balai Kepatihan Jaga Pati dan lounching buku Sumpah Kedaulatan Dayak
Patih Jaga Pati Laman Sembilan Domong Sepuluh, dalam sambutannya, atas nama pribadi, Patih Jaga Pati Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua, Alexander Wilyo, S. STP., M.Si. menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada siapa saja yang turut meringankan langkah, meluangkan waktu untuk hadir di acara peresmian Balai Kepatian Jaga Pati.
Kepada tokoh-tokoh lintas etnis: paguyuban Jawa, dari MABM (Majelis Adat Budaya Melayu), dari IKBM (Ikatan Keluarga Besar Madura), Paguyuban Bugis, dari MABT (Majelis Adat Budaya Tionghoa), Patih Jaga Pati menjelaskan bahwa seluruh rangkaian prosesi adat atau ritual adat Menaiki Rumah Agung Jurong Tinggi Balai Kepatihan Jaga Pati sudah dilaksanakan selama dua hari, yakni dari tanggal 2 sampai tanggal 3 Mei 2024. Puncaknya pendirian Ponti’ Padagi dengan penyatuan tanah arai (tanah dan air) dari seluruh wilayah Laman Sembilan Domong Sepuluh.
Terkait dengan Laman Sembilan Domong Sepuluh, Patih Jaga Pati mengatakan bahwa itu adalah sebutan atau silsilah yang menunjukkan wilayah adat Kerajaan Hulu Aik atau Kerajaan Tongkat Rakyat, yang memang memiliki hubungan darah dengan Kerajaan Tanjungpura Kuno, termasuk dengan Kerajaan Majapahit. Jadi, memang ada kaitan erat dengan asal-usul dengan Prabu Jaya. Karena dulu dikisahkan bahwa Prabujaya dari Kerajaan Majapahit menikah dengan Dayang Putong, puteri Raja Hulu Aik, yang menurunkan raja-raja Tanjungpura kuno, sampai sekarang, setelah era Islam Majapahit berganti menjadi Demak.
Dengan demikian, kata Patih, tidak hanya adat, budaya, tradisi Dayak, tetapi juga adat, budaya, tradisi seluruh suku bangsa, yang harus kita jaga, kita rawat, kita pertahankan, kita lestarikan secara bersama-sama.
Sehingga dengan demikian, lanjut Patih, tidak ada salahnya jika kita menyatu, bersatu, bangga dengan adat, budaya, tradisi kita sebagai jati diri kita, sebagai harga diri kita sebagai bangsa, satu bangsa, bangsa Indonesia.
Selain itu, Patih Jaga Pati juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh tamu/undangan, terutama para domong mantir Laman Sembilan Domong Sepuluh, utusan dari Kalimantan Tengah, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kota Pontianak, dan Kapuas Hulu.
Sekali lagi, Patih Jaga Pati menegaskan bahwa sampai hari wilah masyarakat adat Laman Sembilan Domong Sepuluh tetap eksis menjaga adat, bukan menjaga wilayah kekuasaan politik, bukan menjaga wilayah kekuasaan pemerintahan. Karena wilayah Laman Sembilan Domong Sepuluh itu melewati batas-batas, sekat-sekat administtasi pemerintahan.
“Dari Desa Darat Pantai Kapuas, Labai Lawai, Simpang Sekayok, Laor-Jokak, Bihak-Krio, Kayong-Gerunggang, Tolak Sekayok, Pesaguan Sekayok, Jelai Sekayok, Kendawangan Seakaran, bahkan sampai ke Kalteng. Yang menyatukannya adalah pusaka, yang sampai hari ini masih tetap dijaga, dirawat, dan setiap tahun diadakan ritual mencuci pusaka, yang dinamakan adat Meruba, yakni mencuci pusaka Bosi Koling Tungkat Rakyat. Inilah satu-satunya bukti eksistensi, bukti supremasi Kerajaan Hulu Aik, pemegang pusaka Bosi Koling Tungkat Rakyat, yang orang Dayak manapun tahu dengan itu.
Terakhir, secara khusus Patih Jaga Pati menyampaikan ucapan terima kasih kepada DR. Masri Sareb Putra, penulis Buku Kedaulatan Dayak. Karena Masri Sareb Putralah yang mendorong Patih Jaga Pati Alexander Wilyo agar membukukan jejak-jejak Kepatihan Jaga Pati: seluruh peristiwa, acara adat, ritual-rirual adat dan menularkan semangatnya kepada seluruh masyarakat, supaya suku apapun tidak malu dengan eksistensinya, dengan adat, budaya, dan tradisinya.
Yang kedua, berdaulat secara ekonomi. Artinya wajar ketika seluruh masyarakat Kabupaten Ketapang bisa berdaulat secara ekonomi, bisa menikmati semua kekayaan alam, semua kelimpahan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Apalagi daerah Ketapang yang sangat kaya-raya, sangat subur, ada sawit, ada tambang, ada kayu. Saya pikir wajar kalau masyarakat Kabupaten Ketapang punya keinginan, punya cita-cita masyrakat Ketapang yang sejahtera, masyarakat Ketapang yang lebih maju, selaras dengan visi dan misi Bupati dan Wakil Bupati Ketapang: Ketapang maju dan sejahtera.
Yang ketiga, berdaulat secara politik. Wajar juga bila ada keinginan di masyarakat agar bisa menjadi pemimpin di wilayah sendiri.
“Kalau ini bukan sumpah, tetapi anggap saja cita-cita, harapan, yang mudah-mudahan bisa kita wujudkan kapanpun waktunya,” ujar Patih.
“Dan terakhir, sekali lagi saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinggi kepada semua pihak yang telah berpartisipasi, mendukung, baik berupa tenaga, biaya, waktu dan pikiran untuk seluruh rangkaian acara Menaiki Rumah Agung adalah Jurong Tinggi Balai Kepatihan Jaga Pati Laman Sembilan Domong Sepuluh. Kepada siapapun, termasuk dari IPSI, masyarakat adat Tolak Sekayok, dan seluruh pihak yang telah berkontribusi, secara khusus kepasa Bapak Bupati Ketapang,” ujar Patih menutup sambutannya.
Bupati Ketapang, Martin Rantan, SH M Sos dalam sambutannya mengatakan, kalau melihat ke belakang, melihat sejarahnya ke belakang, Patih Jaga Pati ini, anggap saja Kerajaan Majapahit misalnya. Rajanya Hayam Wuruk. Rajanya Hayam Wuruk itu Pak Petrus Singa Bansa. Tidak bisa dibantah bahwa Pak Petrus Singa Bansa itu adalah rajanya. Sedangkan Maha Patih Gajah Mada itu adalah Alexander Wilyo. Jadi beliau adalah perdana menterinya. Kalau Petrus Singa Bansa adalah rajanya.
Untuk itu, beberapa tahun yang lalu Bupati Ketapang sudah menugaskan Sekda sekarang dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk merehab rumah Raja Ulu Air, yang berada di Sengkuang, dan nanti akan diresmikan pada adat Meruba, Juni mendatang. Dananya itu berasal dari hibah Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang.
Bupati Ketapang juga mengisahkan bahwa Raja Hulu Air juga sudah melakukan pembangunan atau penanaman Tugu Tolak Bala sehingga sampai sekarang di Ketapang tidak pernah terjadi konflik etnis.
Oleh sebab itu, kata Bupati Martin Rantan, pada satu-dua tahun belakangan ini, tampillah Saudara Alexander Wilyo terpanggil untuk membantu Raja Ulu Air dalam melaksanakan Sumpah Kedaulatan Dayak, yakni berdaulat di bidang budaya, berdaulat di bidang ekonomi, dan berdaulat di bidang politik.
“Dengan dipanggilnya Pak Alex ini menjadi Patih Jaga Pati, maka beliau mengorbankan dirinya, mengorbankan kemampuannya, bahkan mengorbankan segala sesuatu yang ada padanya untuk mendirikan Balai Kepatihan ini. Untuk itu, saya ucapkan selamat dan sukses kepada Raja Hulu Air dan Patih Jaga Pati atas berdirinya rumah besar jurung tinggi ini,” pungkas Bupati Martin Rantan.
Pada kesempat tersebut, Bupati Ketapang mengucapkan terima kasih kepada seluruh paguyuban, yang hari ini bisa datang dengan kompak.
“Pesan saya, mari kita jaga Kabupaten Ketapang ini dengan baik, apalagi, tidak lama lagi kita akan mengadakan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung. Ketapang ini, hampir semua suku pernah menjadi Bupati Ketapang, kecuali Tionghoa dan Batak. Yang susah pernah yakni dari suku Jawa, dari Melayu, dari suku Madura, sesudah itu ada dari suku Dayak. Artinya, siapapun yang menjadi Bupati Ketapang ini, masyarakat tetap aman, tentram, tidak pernah ada gejolak,” ujar Martin Rantan.
Selain itu, Bupati Ketapang juga berpesan agar dalan Pilkada nanti, siapapun yang terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati nanti, adalah yang terbaik bagi kita untuk Kabupaten Ketapang.
“Selagi lagi, saya ucapkan selamat kepada Raja Hulu Air dan Patihnya. Mudah-mudahan Pak Alex ini dengan bada besar tegap ini bisa menyatukan masyarakat Kabupaten Ketapang, bahkan bisa menyatukan masyarakat di luar Kabupaten Ketapang, Kalteng, Sanggau dan sebagainya. Karen tidak semua orang yang mau terpanggil untuk hal ini,” ujar Bupati Ketapang mengakhiri sambutannya.
Hadir pada acara hari ke-3 peresmian Balai Kepatihan tersebut, antara lain Pj. Bupati Sanggau, Raja Hulu Aik ke-51, Ketua Majelis Raja Matan, keluarga Kerajaan Sukadana, Forkopimda Kabupaten Ketapang, Wakil Ketua DPRD, Ketua Sekberkesda Provinsi Kalimantan Barat, Uskup Keuskupan Ketapang, para pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang, para ketua paguyuban etnis, para tokoh adat.
Hari ke-3 peresmian Balai Kepatihan ini turut dimeriahkan oleh Marion Hendri, seniman ternama dari Kalteng.(Prokopim/Agustinus)