Views: 1.1K
BANDUNG, JAPOS.CO – Tanah seluas kurang lebih 700 meter persegi di Jalan Yusuf Adiwinata No 15 Menteng Jakarta Pusat kini menjadi sorotan setelah Fuad Bawazier mengadu ke Komisi III DPR RI. Disana mantan Menteri Keuangan RI tersebut membuat narasi yang dinilai tidak sesuai dengan fakta seperti adanya tuduhan soal adanya dugaan mafia tanah dan keterlibatan G 30 S PKI.
Atas tudingan itu tentu saja tidak terima apalagi diungkapkan di lembaga terhormat DPR RI, dari itulah pihak keluarga yang merasa tersudutkan dan memberikan penjelasan fakta sebenarnya terkait adanya sengketa tanah yang kini sudah dimenangkan pihak keluarga dan tinggal eksekusi.
“Kami merasa sakit ketika dituduh mafia tanah. Apalagi diungkap di depan lembaga terhormat DPR RI,” ujar ahli waris pemilik tanah Menteng Jakarta Pusat Ny. Okke Sari Dewi, didampingi penasehat hukumnya Purnama Sutanto S.H. di kantor hukumnya Jalan Van Deventer No 7 Kota Bandung, Senin (12 /8).
Okke yang juga bersama saudara dan cucunya datang untuk menjelaskan soal tersebut.
Menurutnya, tanah tersebut adalah milik ayahnya Joenta Soeardi, namun saat itu dituduh terlibat G 30 S PKI dan ditahan. “Rupanya tuduhan itu dimanfaatkan oleh Raden Soenaryo untuk mendapatkan tanah tersebut,” katanya.
Ny. Okke pun menceritakan bahwa memang Raden Soenaryo itu adalah dari kesatuan angkatan laut namun diperbantukan ke kantor Agraria.
“Karena bertugas di Agraria, dia memanfaatkan langsung dibeli dan tahun 1973 kami diusir barang dikeluarin bahkan ibu saya harus tidur ditrotoar,” ujar Ny. Okke.
Karena merasa tanah dan rumah miliknya, Joenta Soeardi pun mencoba mempertahankannya dengan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta pusat tergugat Agraria, Gubernur Jakarta dan Kolonel Soenaryo pada tahun 1974, lalu tingkat banding tahun 1978 dan Mahkamah Agung pada tahun 1980.
Menurut Okke di PN ditolak, PT dimenangkan dengan putusan menyatakan sertifikat dari Agraria dibatalkan dan diberikan ijin membeli tanah itu kepada pemerintah dan dinyatakan tergugat melakukan Perbuatan Melawan Hukum dan dikenakan ganti rugi Rp 100 juta.
“Nah saat itu Soenaryo tidak melakukan kasasi, dan yang kasasi hanya gubernur dan kantor Agraria aja. Lalu kasasi dan juga dimenangkan, hanya saja sudah pindah kepemilikan kepada Noeraeni Bawazir,” katanya.
Ahli Waris Joenta Menang hingga PK 2
Meski sudah menang namun tidak bisa dieksekusi sehingga akhirnya ahli waris Joenta melakukan gugatan pada tahun 2014 No 495 PDT G/2014/PN Jakarta Pusat. Gugatan didampingi oleh penasehat hukum Purnama Sutanto dengan tergugat Noraeni Bawazir dan penghuni rumah Sunan Arif dan Nella, istrinya.
Dan keluar lah putusan tingkat PN Jakarta Pusat menang, kemudian ditingkat PT dinyatakan NO karena kurang pihak, lalu pihak penggugat lakukan upaya kasasi dan hasilnya dimenangkan oleh penggugat sebagaimana putusan tingkat pertama. Lalu atas putus tersebut melakukan PK tahun 2018 dan hasil nya kalah NO.
Selanjutnya pihak penggugat mengajukan PK 2 pada tahun 2019 dan hasilnya putusan PK membatalkan putusan PK 1 No. 57 PK/PDT.2018
mengabulkan permohonan PK kedua dari para pemohon PK dan membatalkan putusan PK 1, membatalkan putusan PT Jakarta, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta. Mengadili kembali, menyatakan putusan yang berlaku putusan Mahkamah Agung RI no 1782 K/PDT/2016 tertanggal November 2016.
Dari putusan itu sudah jelas bahwa SHM milik mereka sudah dibatalkan sehingga tidak punya lagi kapasitas hak. “Pihak Bawazier yang mengaku selaku pembeli yang beritikad baik adalah tidak benar,” ujar Purnama Sutanto.
Lebih lanjut Purnama Sutanto dan ahli waris Okke menjelaskan, sebenarnya siapa yang pantas dikatakan mafia tanah, karena pihak Ny Okke justru yang benar benar mempunyai kekuatan hukum.
Terlebih, menurut Okke, pihaknya menduga mereka sudah mengetahui bahwa tanah dan rumah itu sedang sengketa malah tetap dibeli dari Soenaryo.
Hal itu dibuktikan oleh adanya surat dari pengacara Srie Meliyani pada tahun 2008 yang mengirim surat kepada Pengadilan TInggi Jakarta perihal mohon salinan putusan MA No 1512 K/SIP/1980 tanggal 6 Oktober 1980.
“Dalam surat itu sudah jelas mereka tahu bahwa tanah itu sedang sengketa, tapi sebulan kemudian yakni pada Desember 2008 malah tanah itu dibeli oleh Nuraeni Bawazier. Seharusnya kalau pembeli yang beritikad baik itu tidak seperti itu,” ujarnya.
Begitu juga seharusnya Agraria tidak boleh menerbitkan sertipikat tapi malah diterbitkan.
“Kami juga menyayangkan dengan adanya terbit sertipikat tersebut karena berdasarkan putusan pengadilan harusnya tidak melakukannya,” ujarnya.
Adanya hasil putusan PK 2 yang seharusnya segera dieksekusi oleh pihak pengadilan maupun Polres Jakarta Pusat itu tidak juga dilaksanakan.
“Tiga kali eksekusi gagal terus, eksekusi yang dilakukan Pengadilan Jakarta Pusat dan Polres Jakarta Pusat tidak kunjung terlaksana. Sudah 5 tahun ahli waris menunggu tapi eksekusi gagal terus, aparat ini terkesan tajam ke bawah tumpul keatas,” ujarnya.(Yara)