Scroll untuk baca artikel
BeritaJawa Barat

Ponpes Banyulana Desa Jelat Kecamatan Baregbeg Sukses Budidaya Melon Premium

×

Ponpes Banyulana Desa Jelat Kecamatan Baregbeg Sukses Budidaya Melon Premium

Sebarkan artikel ini

Views: 1.6K

CIAMIS, JAPOS.CO – Sebuah pondok pesantren tradisional atau salafiyah di Ciamis ini sukses budi daya melon premium dengan menghasilkan hingga Rp 25 juta sekali panen. Hasil dari budi daya melon itu digunakan untuk operasional pesantren.

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

Adalah Ponpes Banyulana di Desa Jelat, Kecamatan Baregbeg, Kabupaten Ciamis. Sejak berdiri tahun 1979, pesantren ini memang mengandalkan hasil pertanian dan perikanan atau peternakan untuk menghidupi pesantren. Mengingat pesantren ini mensubsidi santrinya hingga 60 persen dengan total seluruh santri ada 80 orang.

Pada tahun 2021, Pesantren Banyulana mulai budi daya melon premium dan berjalan hingga sekarang dengan omzet yang cukup untuk bekal para santri. Pesantren bisa mandiri menghidupi seluruh kegiatan dan menjalankan aktifitas pendidikan.

Awalnya pesantren mendapat bantuan PBSI dari Bank Indonesia. Bantuan itu untuk membangun greenhouse dan menanam cabai. Namun dalam pelaksanaannya, panen cabai tidak maksimal ditambah adanya pandemi COVID-19. “Jadi waktu itu bibit sudah disemai, tiba-tiba pandemi jadi aktivitas terhambat termasuk dalam pembangunan greenhouse. Setelah greenhouse jadi tapi bibit sudah terlalu tua, jadi saat ditanam hasilnya tidak maksimal,” ungkap Pimpinan Pesanten Banyulana KH Darif Haidarifan, Minggu (4/8).

Berbekal informasi serta ada peluang dan belajar dari internet, tutur KH Darif Haidarifan, Pesantren Banyulana pun mengganti tanaman cabai dengan melon jenis premium. Seluruh pengelola greenhouse adalah para santri.

Pada waktu itu, pesantren bekerja sama dengan pesantren di daerah lain dengan membeli benih dan juga menjual melon yang ditunjuk oleh BI sebagai offtaker untuk pasar supermarket. “Berjalan dua tahun dan lancar. Kemudian dari kerja sama itu kan tidak ada paksaan atau mengikat, boleh mempersilahkan ke tempat lain apabila ada pasar lebih bagus,” tuturnya.

Akhirnya, Kata KH Darif Haidarifan, Pesantren Banyulana pun mulai membuka greenhouse dengan sistem jual petik sendiri. Dengan sistem itu, pembeli tidak perlu ada sortir berbeda dengan pemasaran ke supermarket. Konsumen bisa mencari buah yang sesuai dengan keinginan dan terjangkau.

Dalam berjalan beberapa tahun budi daya melon, pesantren bisa membuat 2 greenhouse tambahan. Sehingga pesantren bisa panen setiap bulannya tidak harus menunggu 3 bulan sekali. “Awalnya punya satu greenhouse dengan luas 300 meter persegi kapasitas 700 pohon. Kemudian nambah satu greenhouse dengan luas 500 meter persegi untuk 1.400 pohon. Ketiga luasnya 180 meter persegi dengan kapasitas 300 pohon,” katanya.

Melon premium yang ditanam berbagai jenis, seperti Intanon, fujisawa dan sweetnet dari Thailand. Harganya Rp 35 ribu per kilogram. Bobot per butirnya pun tersedia ukuran yang kurang dari sekilo, sehingga terjangkau untuk konsumen. “Sekali panen, kita bisa panen yang terjual rata-rata sekitar Rp 25 juta. Itu yang petik langsung. Harganya tergantung jenis, jadi konsumen bisa pilih langsung jenis dan bobotnya yang terjangkau tapi kualitas premium,” ungkapnya.

Kendala budi daya Melon

Ponpes Banyulana sebelum sampai sukses budi daya melon premium, tentunya memiliki berbagai kendala yang dihadapi. Terutama pada saat awal budi daya dengan jam terbang yang masih awal sehingga banyak melakukan berbagai eksperimen untuk menekan produksi.

Darif bersama para santri pun mulai berinovasi dengan membuat pupuk sendiri secara organik. Tujuannya agar pupuk tidak beli dan membuat tanaman menjadi sehat tanpa campuran racun kimia. Kemudian pembuatan nutrisi hingga obat-obatan dan perawatan lainnya. “Sekarang makanan atau buah adalah obat buat kita, jadi kami ingin menciptakan buah sehat secara organik,” katanya.

Dengan inovasi tersebut, pesantren mampu menekan biaya produksi budi daya melon premium dari Rp 10 juta menjadi hanya Rp 500 ribu. “Intinya dalam pertanian ini terus berinovasi dan pelajari. Bagaimana memberikan dosis, menyiapkan media tanam dan hal lainnya menggunakan sumber yang ada,” jelasnya.

Pesantren pun kini telah memiliki Kawasan Magrib atau Madrasah Agrikultur Banyulana. Santri belajar pertanian di pesantren ini dengan kurikulum. Para santri juga bisa mengembangkan pengetahuan bidang pertanian dan perikanan secara langsung.

Darif pun mengakui dengan hasil pertanian terutama Budi daya melon ini mampu membiayai operasional pesantren. Terutama yang paling besar itu dari konsumsi santri. “Kami tetap mempertahankan salafiyah ini. Amanah orang tua dulu, dari pada membuat sekolah lebih cenderung membuat agribisnis. Ya saya jalankan amanat itu sampai sekarang. Sampai kini telah memiliki P4S (pusat penyuluhan pertanian swadaya). Mentornya juga dari tenaga ahli, ada dari BP3K dan Dinas Pertanian,” tuturnya.

Pesantren Banyulaya tidak memiliki sekolah formal, tandas KH. Darif, namun untuk kebutuhan santri untuk legal formal sekolah dengan menyediakan PKBM. Sedangkan untuk pertanian bisa menjadi bekal setelah pulang dari pondok kembali ke masyarakat, selain bekal keagamaan. Sekaligus untuk meregenerasi petani yang memang saat ini cukup sulit. (Mamay)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *