Views: 1.3K
PEKANBARU, JAPOS.CO – Mahasiswa dan Pemuda GMPS melakukan demonstrasi di Kejaksaan Negeri Siak, menyoroti dugaan pelanggaran PT.DSI terkait perkebunan kelapa sawit di Dayun, Mempura, dan Koto Gasib pada Senin, (11/12/2023), pasalnya, meski memiliki izin sebelumnya, PT.DSI diduga tidak memiliki HGU saat ini, menciptakan keresahan di masyarakat.
Koordinator GMPS, Muhammad Alhafiz mengatakan bahwa aksi ini didasarkan pada kekhawatiran terhadap potensi pelanggaran UU Agraria. PT DSI yang tidak memiliki HGU diduga telah merugikan negara. Alhafiz menekankan pentingnya penegakan hukum dan peringatan agar Kejari Siak tidak bermain mata dengan PT DSI.
Daud Pasaribu, SH Kuasa Hukum M Dasrin salah satu pemilik lahan Ex PT Karya Dayun memberikan dukungan kepada adik-adik mahasiswa dan pemuda GMPS menyuarakan kebenaran.
“Seperti yang dialami oleh klien kami yang masih berkonflik dengan PT DSI serta Penting untuk mencermati dampak sosial dan ekonomi terkait pengelolaan lahan seluas 13 ribu hektar oleh PT DSI yang sebelumnya dikuasai dan dikelola oleh masyarakat.
“Konflik lahan antara masyarakat dan PT DSI semakin kompleks dengan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Meski SK Menhut lepas kawasan hutan sudah tidak berlaku, PT.DSI diduga beroperasi tanpa izin Hak Guna Usaha (HGU), berpotensi menciptakan kerugian nyata bagi negara,” kata Daud
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.25/PUUXIV/2016, unsur merugikan keuangan negara harus terbukti sebagai kerugian aktual (actual loss). Daud sampaikan, pihaknya mengharapkan aparat penegak hukum khususnya di Riau maupun di pusat secara inisiatif dan tegas menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi ini untuk memastikan keadilan dan ketertiban hukum.
Dalam perkara kontroversial antara PT DSI dan PT.Karya Dayun di Siak, terdapat kebingungan terkait bidang tanah PT Karya Dayun yang dieksekusi oleh Pengadilan Negeri.
“Meskipun surat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Siak menegaskan bahwa PT Karya Dayun tidak memiliki tanah di Kecamatan Dayun, Pengadilan tetap melaksanakan eksekusi tanpa melakukan constatering terlebih dahulu.
“Pentingnya constatering sebelum eksekusi menjadi sorotan, terutama setelah diketahui bahwa sekitar 600 sertifikat hak milik masyarakat dengan total 1200 hektar kebun turut terkena dampak eksekusi tanpa mereka menjadi pihak dalam perkara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan keadilan dalam penanganan perkara tanah dan perlunya peninjauan kembali terkait proses eksekusi yang dilakukan tanpa memastikan kesesuaian dengan amar putusan,” ungkap Daud.
Pihak berwenang diharapkan segera memberikan klarifikasi dan tindakan yang transparan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan penanganan sengketa tanah.(AH)