Views: 321
MUBA, JAPOS.CO – Infrastruktur yang memadai adalah elemen penting dalam usaha meningkatkan perekonomian masyarakat, sehingga hal inilah yang mendasari pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur di beragam sektor.
Sayangnya, anggota DPR yang seharusnya berperan sebagai garda terdepan dalam mengawasi, malah memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menjalankan peran ganda sebagai pemasok barang dengan niatan mencari keuntungan baik secara pribadi maupun untuk kelompoknya.
Padahal, DPR memiliki tugas inti yang mencakup merumuskan peraturan daerah bersama kepala daerah, meninjau serta menyetujui rencana APBD yang diajukan oleh kepala daerah, serta melakukan pemantauan terhadap penerapan peraturan daerah dan APBD.
Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah anggota dewan terlibat dalam pelaksanaan proyek APBD? Selanjutnya, siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengawasi proses pembangunan, mengingat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang mengatur MPR, DPR, DPD, dan DPRD melarang anggota dewan terlibat dalam pelaksanaan proyek.
Telah menjadi rahasia umum di hampir semua wilayah di negara ini bahwa dewan memiliki peran yang signifikan dalam pengaturan dan penentuan pemenang tender proyek infrastruktur, bahkan, anggaran pembangunan juga dapat dipengaruhi oleh perwakilan rakyat.
Yang lebih mengejutkan, dalam proses persetujuan APBD antara eksekutif sebagai pengguna Anggaran dan Dewan sebagai badan yang memiliki wewenang untuk menyetujui anggaran, telah terjadi kesepakatan atau pembayaran komisi dari kontraktor atau instansi terkait.
Lantas, bagaimana dengan aspek teknisnya? Hampir semua orang sebenarnya tahu bagaimana skema tersebut dijalankan, yaitu dengan memberikan komisi yang jumlah besarnya tidak melebihi lima persen dari nilai proyek, jika proyek tersebut diserahkan ke dinas dan dikerjakan oleh SOPD teknis sesuai aturan dan mekanisme. Namun jika dikerjakan secara independen, keuntungan yang diperoleh bisa jauh lebih besar, bahkan mencapai 25 hingga 30 persen dari nilai kontraknya, terutama untuk proyek-proyek fisik seperti irigasi, bangunan, dan lainnya.
Tentu, biasanya dalam pelaksanaan teknis dan sebagai upaya untuk menghindari potensi masalah hukum di masa mendatang, proyek yang dikerjakan langsung itu seringkali direkayasa dengan menggunakan perusahaan pinjaman.
Fenomena ini memang sudah lama terjadi, mungkin sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu, dan berjalan lancar tanpa masalah. Pertanyaan yang paling mendasari, apakah gaji anggota dewan ini sangat rendah sehingga dapar dipastikan hampir setiap anggota dewan ikut terlibat dalam proyek yang dikelola pemerintah.
Sebenarnya, sungguh sangat mencengangkan bahwa Dasar hukum mengenai gaji anggota DPRD diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang hak keuangan dan administrasi pimpinan dan anggota DPRD dan Permendagri Nomor 62 Tahun 2017 tentang pengelompokan kemampuan keuangan daerah pelaksanaan dan pertanggungjawaban dana operasional.
Berdasarkan dasar hukum tersebut bahwa gaji anggota DPRD terdiri dari beberapa komponen, termasuk uang perwakilan, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan peralatan dan fasilitas, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan reses, tunjangan perumahan, dan tunjangan transportasi.
Ternyata, ada banyak komponen dalam gaji seorang anggota DPRD. Dengan begitu banyaknya komponen ini, kita mungkin penasaran, berapakah jumlah total gaji anggota DPRD di Kota atau Kabupaten?
Menurut sumber-sumber tepercaya, jika kita merinci semua komponen yang telah dijelaskan sebelumnya, pendapatan bulanan anggota DPRD Kabupaten berkisar antara 36 hingga 45 juta rupiah, termasuk potongan PPh 21 sebesar 15 persen. Jika melihat jumlah ini, gaji anggota DPRD yang besar ini sebenarnya tidak wajar jika mereka masih terlibat dalam proyek-proyek yang bertujuan mencari keuntungan besar.
Tingginya jumlah anggota DPRD yang terlibat dalam proyek-proyek dan meminta proyek kepada pihak eksekutif dapat memicu konflik di masyarakat, terutama di kalangan kontraktor lokal. Dengan kata lain, kehadiran anggota dewan yang terlibat dalam proyek bukan hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merugikan pengusaha lokal karena mereka cenderung mendapatkan pilihan proyek yang lebih banyak.
Maka dari itu, kita sangat berharap bahwa anggota dewan di masa mendatang akan fokus pada tugas mereka untuk mengawasi aktivitas eksekutif, dan tidak lagi terlibat dalam pekerjaan sebagai pemborong.
Sebaiknya, jika anggota dewan ingin menjadi kontraktor, mereka seharusnya melepaskan posisi sebagai wakil rakyat, karena mereka dipilih oleh rakyat untuk mewakili aspirasi rakyat, bukan untuk mencari keuntungan dengan menggunakan nama rakyat.
Sangat menyedihkan bagi masyarakat ketika perwakilan mereka secara kolektif terlibat dalam tindakan pencurian dana publik. Sementara itu, upaya menuju kesejahteraan yang dijanjikan selama ini belum pernah tercapai, dan masyarakat hanya dianggap sebagai sumber pendapatan setiap lima tahun sekali. Kenyataannya, kondisi masyarakat masih terperangkap dalam kemiskinan dan kebodohan.
Saat ini, adalah waktu yang sangat penting bagi masyarakat untuk memilih wakil-wakil mereka, dan tentu saja, mereka perlu berhati-hati dalam melakukan pemilihan tersebut. Tidak boleh mudah terpengaruh oleh janji-janji yang terlalu manis dan tawaran-tawaran yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tentunya, kita memiliki harapan besar pada wakil-wakil baru ini agar mereka tidak mengkhianati dan merugikan masyarakat. (Ram)