Views: 225
JAKARTA, JAPOS.CO – Sekretaris Dewan Pakar Partai Golkar, Prof. DR. Drs.Ganjar Razuni meminta hasil sidang etik terhadap Lawrence Siburian dan Ridwan Hisjam dibuka dan diumumkan ke publik. Pemeriksaan terhadap dua senior partai tersebut karena Dewan Etik Partai Golkar menganggap Lawrence dan Ridwan mewacanakan musyawarah nasional luar biasa (munaslub).
Dikatakan, penegakan etika bukan sekedar tanggungjawab Dewan Etik Partai Golkar. Namun merupakan tanggungjawab moril Dewan Etik kepada seluruh warga, anggota dan kader Partai Golkar, dan bahkan seluruh rakyat Indonesia, kata Ganjar kepada wartawan, Selasa (18/7/2023) di Jakarta.
Lawrence Siburian adalah Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Sentral Karyawan Swadiri Indonesia (DEPINAS SOKSI) salah satu dari tiga organisasi kemasyarakatan (ormas) pendiri Golkar; sedangkan Ridwan Hisjam kini Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar. Mereka pada Senin (17/7/2023) telah diperiksa Dewan Etik Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Jalan Anggrek Neli Murni, Slipi, Jakarta Barat.
Ganjar menjelaskan, Dewan Etik memiliki tugas untuk memberikan pelajaran politik terutama dalam menghadapi krisis etika dan dekadensi moralitas.
“Putusan akhir Dewan Etik akan menjadi pembelajaran yang berharga bagi semua pihak,” ujarnya.
“Oleh sebab itu diingatkan pentingnya keterbukaan agar publik tak berburuk sangka terhadap Dewan Etik Partai Golkar. “(Kalau tertutup) Bahkan bisa berpotensi menjadi sumber fitnah melalui apa yang disebut sebagai politik transaksional, yang dapat menciderai kehormatan dan keluhuran Dewan Etik itu sendiri,” ucapnya seraya menyatakan,
dibukanya hasil sidang etik justru membuat Dewan Etik tetap berwibawa di mata masyarakat.
“Bahkan hasil Dewan Etik itu jika _dipublish_ dapat dijadikan pembelajaran dan bahan studi tesis atau juga disertasi di bidang ilmu politik, ilmu hukum, dan filsafat politik,” jelasnya.
Kendati demikian, Ganjar menegaskan Dewan Etik harus cermat menilai masalah mana yang masuk kategori pelanggaran.
“Tidak boleh juga, bahwa berbeda pendapat dan pikiran, dimasukkan kategori potensi pelanggaran etik. Ini justru bisa membahayakan kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran,” ujarnya. (A-3)