Views: 222
JAKARTA, JAPOS.CO – Para pedagang tekstil masih gundah untuk menampilkan produk-produk mereka dalam tayangan terbaik di era digital ini. Bukan hanya soal tidak mengerti teknologi namun pemasaran yang konvensional masih jadi patokan dalam berwirausaha.
Misalnya Varel, pemilik toko di kawasan Slipi, Jakarta Barat ini mengaku sempat kebingungan untuk memberikan foto yang ciamik dalam memasarkan produknya. Penggunaan foto lama dengan tampilan ala kadar memang tidak cukup menarik mata para pelanggan.
Kini, Demosta, sebagai brand baru mampu mengejar pemasaran kontemporer yang telah merajai industri. Apalagi, nama Demosta sendiri adalah hasil rebranding dari Venezia.
Proses rebranding ini juga bukan menjadi hal yang sulit untuk Varel. Diskusi bersama Jakarta Foto Produk Jakarta (JFPJ) mengubah pandangannya untuk memasarkan produk sandang tersebut.
“Kita sudah rebranding jadi Demosta di shopee ama tokped karena di awal kita ga ada foto katalog khusus atau foto khusus in house sangat terbantu lah. Kita meskipun rebranding pake foto katalog yang lama juga masih bagus,” katanya saat ditemui, Jumat (17/3).
Belum lagi, pemilik Toko Krisna Wahyu, Bertha juga mengalami pergumulan serupa untuk memasarkan produknya. Usahanya untuk masik ranah digital pun, tidak diambil pusing, beberapa fotonya sudah menjadi katalog yang memudahkan usahanya.
“Setelah ada foto sih, produknya jadi bisa lebih menarik, karena baju itu harus dipakai dulu baru keliatan bagus. Terus jualan juga lebih gampang,” ujarnya.
Sementara bagi Zizi, sang pemilik Qasidah brand. Tidak asing baginya untuk beradu sikut dalam menjajakan produknya.
Lantaran, Qasidah sudah berfokus pada ranah daring sejak lama. Sayangnya, itu saja tidak cukup untuk mendongkrak usahanya sendiri.
Berbagai konten langsung dibuat oleh JFPJ untuk mewujudkan mimpinya tersebut. Dalam format reels di media sosial seperti Instagram, siapa sangka kini dapat memanjakan mata pelanggannya.
“Jadi punya katalog yang menarik banget. Kita bikin reels jadi sangat menarik,” tuturnya dengan gelak tawa.
Terkait hal ini, Henry Siagian dari JFPJ memandang, langkah pemasaran yang diberikan kepada para pemilik toko itu sudah sepatutnya berjalan demikian. Maka dari itu, JFPJ dilahirkan sebagai tim kreatif supaya mereka dapat bermigrasi ke dunia digital lebih mudah.
Ia tidak ingin ketika para pedagang ini diminta untuk bersaing dalam dunia digital menjadi tuntutan yang memberatkan. Apalagi dengan tidak adanya solusi yang mudah dilakukan bagi mereka.
“Buat UMKM sadar bahwa memang harus pindah ke digital itu kebutuhannya. Tapi yang di toko tetap harus jalan,” kata Henry dengan gestur santai.
Henry menyampaikan, proses migrasi itu akan dituntun JFPJ mulai dari foto produk, creative thinking, marketing, hingga backend website. Ketika hal ini terwujud, para pedagang ini tidak lagi berkutat pada business to businees melainkan langsung ke kostumernya.
Selain itu, penyediaan jasa untuk pengelolaan media sosial sembari memberikan pemahaman juga berjalan. Pembuatan berbagai konten ciamik dilakukan.
Pengelolaan di ranah daring tidak bisa dianggap remeh. Membangun persepsi terkadang terlewat begitu saja dan membuat produk tersebut juga tidak menarik perhatian jempol warganet.
“Yang jadi tantanganya para pedagang UMKM, engga tahu harus mempresentasikan produknya seperti apa ke orang. Padahal jual offline dan online itu beda,” ujarnya.
Maka dari itu pemahaman kepada para pedagang UMKM ini menjadi misi bagi Henry dan kawan-kawan di JFPJ. Terlebih di luar negeri, sudah banyak konsultan pemasaran kreatif yang membantu para pedagang.
Baginya, kini giliran Indonesia untuk menjalankan skema pemasaran masa kini. Bahkan, timnya tetap membuka ruang bagi para pedagang bila hanya ingin sekedar berkonsultasi.
“Kita konsultasi dulu, kita kasih tahu semua. Kita sih ga penting mau jadi apa engga, yang penting mereka sadar seberapa penting brand image itu,” katanya menandaskan.(Red)