BeritaHEADLINESumatera Utara

Menakar Kesiapan 16 Geosite Menyambut Revalidasi UNESCO Juni 2025: Akankah Green Card Kembali ke Toba Caldera Geopark atau Hanya Sekadar Retorika Politik?

×

Menakar Kesiapan 16 Geosite Menyambut Revalidasi UNESCO Juni 2025: Akankah Green Card Kembali ke Toba Caldera Geopark atau Hanya Sekadar Retorika Politik?

Sebarkan artikel ini
Geopark Kaldera Toba.

Views: 108

SAMOSIR, JAPOS.CO — Proses revalidasi status green card dari UNESCO terhadap Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TC UGGp) tinggal menghitung hari. Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah kita sungguh-sungguh siap, atau justru sedang mengulang kegagalan yang sama dalam kemasan yang lebih rapi?

Sebagaimana diatur dalam ketentuan geopark global, pengelolaan geopark yang wilayahnya mencakup lintas kabupaten — dalam hal ini tujuh kabupaten di Sumatera Utara — wajib berada di bawah kendali langsung Gubernur. Namun, realitas di lapangan selama hampir satu dekade menunjukkan lemahnya komitmen struktural dari pemerintah provinsi. Baru belakangan ini, menjelang tenggat waktu revalidasi, perhatian gubernur tampak mulai terarah. Tapi, apakah ini cukup?

Ajakan Gubernur: Semangat atau Sekadar Seremonial?

Dalam sebuah acara bertajuk “Mangan Baggal” (17/4/2025) di Lapangan Bebas Parapat, Gubernur Sumatera Utara, Muhammad Bobby Afif Nasution, menyerukan agar TC UGGp mengembalikan statusnya ke green card. Ia mengajak para pengelola geopark untuk bekerja kolaboratif dan menyelesaikan tugas besar ini.

Seruan itu dijawab dengan seruan “Siap!” oleh General Manager BP TC UGGp, Azizul Kholis, bersama para manajer divisinya. Namun, masyarakat kritis bertanya: apa saja yang sudah disiapkan? Siapa yang mengawasi implementasinya? Dan di mana keterlibatan nyata tujuh bupati dalam strategi geopark berbasis kawasan?

Sejak pengakuan UNESCO terhadap Toba Caldera sebagai bagian dari Global Geopark Network tahun 2020, pengelolaan geopark ini justru mengalami stagnasi. Rekomendasi demi rekomendasi dari UNESCO tak kunjung diimplementasikan secara konsisten. Bahkan sejak 2015, UNESCO telah memberikan peringatan berkala, sampai akhirnya menjatuhkan “kartu kuning”.

Masalah utamanya bukan sekadar teknis, tetapi struktural: tidak adanya koordinasi aktif antara gubernur dan para bupati, lemahnya manajemen internal Badan Pengelola, pemilihan personel yang tidak memahami filosofi geopark, serta keterbatasan anggaran dan prasarana.

Lebih memprihatinkan lagi, hingga hari ini kawasan ini belum memiliki Master Plan yang sah dan mengikat secara hukum. Tidak ada perda khusus yang menjadi acuan seluruh aktivitas geopark lintas kabupaten. Artinya, tidak ada kepastian arah pembangunan. Ini seperti membangun rumah tanpa denah, atau lebih buruk lagi: menunggangi “kuda mati” yang terus dipaksa hidup.

Dead Horse Theory dan Kenyataan Pahit di Lapangan

Strategi “kuda mati” atau Dead Horse Theory menjadi metafora yang pas dalam konteks ini. Pemerintah provinsi, bukannya mengganti strategi, justru terus mempertahankan pendekatan yang telah terbukti gagal. Misalnya, restrukturisasi BP TC UGGp baru disahkan Februari 2025, padahal sejak September 2023 lembaga ini nyaris vakum — hanya satu divisi yang aktif.

Masih banyak geosite yang tidak dikelola optimal. Konservasi tidak berjalan, kegiatan edukatif hanya sporadis, dan masyarakat lokal yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam praktik geowisata tidak diberdayakan. Alih-alih menjadi agent of change, para pengelola tapak geosite justru dibekukan atau dilemahkan perannya.

Waktu Hampir Habis, Apakah Gubernur dan Bupati Mau Duduk Bersama?

Salah satu indikator kesiapan adalah sinergi kebijakan. Tapi sampai berita ini ditulis, belum ada kepastian kapan audiensi antara Gubernur dan Badan Pengelola akan terlaksana. Padahal, revalidasi akan dilakukan sekitar Juni 2025 — kurang dari dua bulan dari sekarang.

Apakah para pemangku kebijakan serius ingin mempertahankan status geopark ini, atau hanya menjadikannya simbol politik dan branding pariwisata?

Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap waktu yang kian menipis. UNESCO bukan sekadar lembaga yang memberi label, tetapi memantau kualitas keberlanjutan dan partisipasi masyarakat dalam geopark. Jika semua ini masih dalam tahap janji dan bukan aksi, maka green card bukan sekadar sulit dicapai bisa jadi akan ditarik sepenuhnya.

Pertanyaan kunci yang harus dijawab oleh semua pihak, dari gubernur hingga kepala desa: Apakah kita sungguh-sungguh membangun kawasan Danau Toba dengan pendekatan geopark yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis masyarakat?

Jika jawabannya ya, maka seharusnya hari ini kita sudah melihat:

  • Master Plan yang jelas, diakui dan dijalankan;
  • Koordinasi yang hidup antara provinsi dan kabupaten;
  • Dukungan anggaran yang memadai;
  • Geosite yang hidup dan dikelola oleh komunitas lokal;
  • Edukasi dan konservasi yang bukan hanya jargon, tapi program nyata.

Namun jika jawabannya tidak, maka sebaiknya kita jujur pada diri sendiri mungkin selama ini kita hanya sedang menunggangi kuda yang sudah mati, dan enggan turun karena takut mengakui kegagalan.***

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan dan Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *