Views: 55
JAKARTA, JAPOS.CO – Ketua DPD Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pemerhati Penegakan Hukum dan Keadilan (PPHK) Provinsi DKI Jakarta, Awy Ezyari, SE MM melontarkan kritik keras terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tahun 2023.
Laporan tersebut mengungkapkan adanya ketidaktertiban dalam pengelolaan piutang sewa aset daerah, khususnya pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Pasar, Usaha, dan Keuangan Milik Pemprov (PPUKMP) Pulogadung.
BPK mencatat total saldo piutang lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) mencapai Rp3,03 triliun, termasuk piutang sewa lahan sebesar Rp956 juta dan sewa ruang usaha Rp1,08 miliar. Namun, mayoritas piutang ini bermasalah, mulai dari ketidaksesuaian data hingga ketiadaan dokumen kontrak yang sah.
“Masalah ini menunjukkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan aset daerah. Pemprov DKI seharusnya memastikan bahwa setiap piutang tercatat dengan benar dan memiliki dasar hukum yang jelas,” ujar Awy pada Senin (13/1/2025).
Dalam temuan BPK, sebanyak 43 penyewa lahan dengan total piutang Rp726 juta tidak memiliki dokumen kontrak yang sah. Hal serupa terjadi pada ruang usaha, di mana Rp950 juta dari total piutang Rp1,08 miliar berasal dari penyewa tanpa kontrak valid.
“Bagaimana mungkin pemerintah mengelola piutang tanpa dokumen yang jelas? Ini adalah contoh buruk pengelolaan aset daerah yang dapat merugikan keuangan daerah,” kritik Awy.
Permasalahan lain adalah banyak kontrak yang telah habis masa berlakunya tanpa perpanjangan. Akibatnya, tidak ada dasar hukum untuk menagih piutang dari penyewa. Dari 10 penyewa ruang usaha yang memiliki kontrak valid, 9 di antaranya tidak memperpanjang kontrak meskipun tetap menggunakan fasilitas tersebut.
“Ini adalah bentuk kelalaian yang tidak bisa dibiarkan. Pemprov harus bertanggung jawab untuk menegakkan aturan dan memastikan aset daerah dikelola secara profesional,” tambah Awy.
Awy mendesak Pemprov DKI segera mengambil langkah serius untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK. Di antaranya adalah melakukan rekonsiliasi data kontrak, memperbaiki sistem administrasi, dan memperpanjang kontrak yang sudah habis.
“Komitmen untuk memperbaiki ini bukan hanya soal menaati rekomendasi BPK, tetapi juga untuk menjaga integritas pengelolaan keuangan daerah. Jika dibiarkan, kerugian tidak hanya material, tetapi juga mencoreng kredibilitas pemerintah,” tegasnya.
BPK sendiri merekomendasikan Pemprov DKI untuk memperkuat koordinasi antara Subbagian Keuangan dan Satuan Pelaksana Sarana dan Prasarana (Satpel Sarpras) demi memastikan keakuratan data.
Masalah ini menjadi pengingat akan pentingnya tata kelola aset daerah yang transparan dan akuntabel. Langkah konkret diperlukan agar piutang bermasalah tidak menjadi penghambat bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah.(Red)