Views: 545
BANDUNG, JAPOS.CO – Sidang lanjutan dugaan tindak pidana korupsi perkara Tol Cisumdawu Rabu (13/11) dengan agenda sidang hari ini menghadirkan saksi ahli agraria Prof Dr Nia Kurniati SH MH.
Seperti biasa para terdakwa dihadirkan dalam persidangan yang di gelar di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jl.Surapsti Bandung
4 terdakwa masing masing yakni Atang Rahmat selaku Anggota tim P2T, pegawai BPN Agus Priyono Ketua Satgas B Tim P2T pegawai BPN Mono Igfirlym Pejabat di Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), dan Mushofah Uyun selaku Kades Cilayung.
Mengenai kaitan antara penetapan lokasi dengan keabsahan ganti rugi, dalam persidangan dengan saksi ahli agraria Nia Kurniati itu, menjelaskan bahwa saat lahan yang sudah masuk penetapan lokasi, lahannya sudah tidak boleh dilakukan perbuatan hukum apapun, kecuali dengan negara.
Hanya saja, Ketika ditanya dasar hukum eksplisit yang mengatur larangan tersebut, Nia tidak mengetahui pasti.
“Saya kira secara logika saja, tapi yang pasti, saya sebagai akademisi yang sudut pandang sosiologis,” kata Nia Kurniati, saat ditanya soal dasar hukum larangan warga berada di daerah sudah ditetap penetapan lokasi.
Pertanyaan itu berkorelasi dengan temuan penyidik Kejari Sumedang yang meyakini bahwa proses pembelian lahan oleh Dadan Setiadi Megantara di lokasi yang sudah berada dalam penetapan lokasi (penlok) tol Cisumdawu itu sebagai perbuatan melawan hukum.
Pertanyaan serupa juga ditanyakan ketua majelis hakim yang menanyakan apakah saat lahan berada dalam status penlok namun belum ada detail jalur yang akan digunakan tol, pemilik lahan bisa menjualnya.
Menurut Nia Kurniati bahwa itu secara logika dimungkinkan karena terkait aspek kepastian hukum. Menurutnya, tanah yang belum ada titik trase jalur bisa dibebaskan yang artinya masih boleh dipindahkan.
Tim Kuasa hukum Dadan Setiadi Megantara, Febri Hendarjat SH.,M.hum, Oki Yohanes Hauwita SH dan Jainal RF Tampubolon SH, mengatakan, kualitas kesaksian saksi ahli bidang agraria belum memuaskan secara materiil.
“Secara keseluruhan saksi yang dihadirkan jaksa belum bisa menjawab pertanyaan mendasar, seperti tumpang tindih antara ijin lokasi perumahan yang merupakan ijin pelaku usaha untuk memperoleh lahan, lahir lebih dulu sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan penetapan lokasi (penlok) tol yang melarang peralihan lahan, dimana keduanya memiliki derajat dan tidak pernah ada pembatalan atas kedua ijin tersebut dasar, namun secara substansi bertolak belakang, itu tidak terjawab,” kata Febri.
“Kemudian, soal keterkaitan penlok sebagai kebijakan pemerintah yang bersifat penetapan, derajatnya tinggi mana dengan Perda RTRW Sumedang dalam hal peruntukan lahan, itu juga belum terjawab. Namun, ada satu hal yang menurut dia, memberi gambaran terang soal lahan di lokasi penlok, bahwa selama dalam penlok tersebut belum ada trase atau jalur tol, maka secara logika peralihan lahan dapat dilakukan. Penetapan lokasi pertama kali pada tahun 2005 belum ada trase atau jalur tol, setelah 7 kali perubahan baru ada trase atau jalur tol di penlok tahun 2018, kemudian mengenai ketidakpastian masa berlaku penlok, itu pun belum terjawab secara komprehensif.
Halaman itu soal perbuatan hukum pengalihan lahan tanah milik adat masyarakat di lokasi penlok selama belum ada trase atau jalur ternyata bisa atau dibolehkan,” kata dia.
Pernyataan itu jadi penting karena korelasinya dengan keyakinan jaksa penuntut umum dan berdasarkan alat bukti, bahwa perbuatan melawan hukum Dadan Setiadi Megantara itu karena menerima pengalihan 7 tanah milik adat dari masyarakat yang membutuhkan biaya karena faktor ekonomi.
Lahan tersebut di lokasi di masa sudah ada penetapan lokasi namun belum ada trase dan jalur tol, sehingga masyarakat mengalami ketidakpastian hukum selama 13 tahun tidak boleh mengalihkan tanahnya, karena penlok pertama di tahun 2005, kemudian pelaksanaan dan penentuan trase baru pada penlok tahun 2018.
Luas 7 tanah milik adat tersebut hanya kurang lebih 6677 m2 dari total tanah milik perumahan yang terkena trase tol seluas 5,9 hektar. Namun, dari dugaan perbuatan melawan hukum tersebut, muncul dugaan kerugian negara mencapai total loss sebesar Rp 329 miliar, dimana uang tersebut masih berada di bank BTN dengan status konsinyasi di rekening RPL PN Sumedang.
Untuk di ketahui perkara ini bermula saat Dadan Setiadi megantara, pengusaha properti, jauh sebelum ada proyek Tol Cisumdawu, mengajukan pengadaan tanah untuk perumahan.
Proses pengadaan tanah itu kemudian diurus sehingga keluar izin prinsip, izin lokasi dan perizinan lainnya dari Pemkab Sumedang. Hingga akhirnya, munculah rencana proyek strategis nasional yang diusulkan Pemkab Sumedang dan keluar penetapan lokasi pengadaan Tol Cisumdawu, namun belum ada detail jalur tol.Dalam perjalanannya, pada kurun waktu 2018-2019, tanah yang diajukan oleh Dadan, yang sudah mendapat izin prinsip hingga izin lokasi sejak 1994 dan diperpanjang pada 2005, ternyata masuk ke dalam jalur Tol Cisumdawu.
Singkat cerita, Dadan Setiadi Megantara ditetapkan sebagai penerima ganti rugi sejumlah bidang lahan. Dia mendapat ganti untung dari pemerintah senilai Rp 329 miliar.
Namun, saat Dadan ditetapkan sebagai penerima ganti rugi, ada pihak-pihak lain mengklaim tanah yang dikuasai Dadan sehingga bersengketa perdata.
Mengetahui hal itu, pemerintah kemudian menitipkan uang ganti rugi tersebut secara konsinyasi ke PN Sumedang.
Alih-alih bisa mengurus pencairan ganti rugi pengadaan lahan, Dadan Setiadi jadi tersangka korupsi yang merugikan keuangan negara. Menariknya, kerugian negara ini sendiri uangnya masih berada di bank BTN.(Yara)