Views: 1K
TANJUNGBALAI, JAPOS.CO – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Medan gelar sidang lanjutanan terdakwa Margaretha Octavia Gultom terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi terkait penyalahgunaan ijazah dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan Kota Tanjungbalai Tahun Anggaran 2018 dengan agenda tanggapan Eksepsi Penasehat Hukum oleh Jaksa Penuntut Umum, Kamis (22/8/24).
Dalam Nota keberatannya terdakwa dan/atau Penasihat Hukum Terdakwa menyebutkan bahwa keberatan mengenai perkara tindak pidana korupsi yang didakwakan saat ini hanyalah pidana turunan dari pidana pokoknya yaitu tindak pidana pemalsuan surat atau membuat surat palsu dan tindak pidana menggunakan surat palsu atau surat yang dipalsukan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (1) dan (2) atau Pasal 264 Ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ia menegaskan bahwa tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada terdakwa tidak akan pernah ada tanpa didahului dengan adanya tindak pidana umum berupa tindak pidana pemalsuan surat atau membuat surat palsu dan tindak pidana menggunakan surat palsu atau surat yang dipalsukan, setelah Jaksa Penuntut Umum mencermati uraian Eksepsi atau Nota Keberatan Terdakwa dan/atau Penasihat Hukum Terdakwa, maka dalam hal ini Terdakwa dan/atau Penasihat Hukum Terdakwa tidak memahami atau mungkin lupa akan adanya asas lex specialis derogat legi generalis yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Bahwa Jaksa Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentunya karena didasarkan adanya asas lex specialis derogat legi generalis, dimana terhadap perbuatan Terdakwa ada aturan yang lebih khusus mengaturnya di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkhusus dalam hal ini juga terdapat kerugian keuangan negara yang terjadi akibat perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga sudah sepatutnya dakwaan yang didakwakan terhadap Terdakwa adalah dakwaan yang lebih bersifat khusus.
Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini juga merasa bingung dengan pernyataan Terdakwa dan/atau Penasihat Hukum Terdakwa yang menyatakan bahwa “tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Terdakwa tidak akan pernah ada tanpa didahului dengan adanya tindak pidana umum berupa tindak pidana pemalsuan surat atau membuat surat palsu dan tindak pidana menggunakan surat palsu atau surat yang dipalsukan” sepanjang pengetahuan Jaksa Penuntut Umum tidak ada satu aturan pun yang mengharuskan terhadap perbuatan yang ada irisannya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus terlebih dahulu diselesaikan vonis pidana umumnya baru dapat dilanjutkan kepada perkara tindak pidana khususnya. Jaksa Penuntut Umum sangat menyayangkan bahwa Penasihat Hukum Terdakwa tidak benar-benar memahami asas lex specialis derogat legi generalis dan tidak memahami terkait concursus idealis (eendaadsche samenloop) yaitu apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan tersebut melanggar beberapa ketentuan hukum pidana yang dipakai hanya salah satu dari norma pidana itu dan jika hukumannya berlainan, yang dipakai adalah norma pidana yang diancam pidananya yang terberat sebagaimana termuat dalam Pasal 63 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bahwa sidang selanjutnya akan dilanjutkan pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2024 dengan agenda Putusan Sela. Terkait putusan sela nantinya Tim JPU Mhd. Subhi Solih, SH MH yakin jika Majelis Hakim akan menolak eksepsi dari Penasehat Hukum dan melanjutkan persidangan untuk pemeriksaan pokok perkara dengan menghadirkan saksi-saksi dan barang bukti ke depan persidanganpersidangan, (R.N)