Scroll untuk baca artikel
BeritaRiau

Tiga Kasus Dihentikan Penuntutannya Berdasarkan Keadilan Restoratif Oleh Kejaksaan Agung RI

×

Tiga Kasus Dihentikan Penuntutannya Berdasarkan Keadilan Restoratif Oleh Kejaksaan Agung RI

Sebarkan artikel ini

Views: 872

PEKAMBARU, JAPOS.CO – Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah menyetujui penghentian penuntutan terhadap tiga perkara berdasarkan prinsip keadilan restoratif. Persetujuan ini diumumkan melalui Video Conference Ekspose Pengajuan Penghentian Penuntutan yang dilaksanakan di Ruang Rapat Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, dengan dipimpin oleh Direktur Oharda, Nanang Ibrahim Soleh SH MH, selasa (9/7/2024).

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

Ekspose ini dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi, termasuk Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, Akmal Abbas, SH MH, Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Riau, Dr. Silpia Rosalina, SH MH, serta Kepala Kejaksaan Negeri Dumai, Pri Wijeksono, SH MH, Kepala Kejaksaan Negeri Indragiri Hilir, Nova Fuspitasari, SH MH, dan sejumlah Kepala Seksi pada bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Riau.

Penghentian penuntutan ini diberikan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI setelah memenuhi ketentuan dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022. Hal ini merupakan perwujudan kepastian hukum melalui penerapan keadilan restoratif.

Berikut adalah tiga kasus yang dihentikan penuntutannya:
Kasus Tersangka Herwan dari Kejaksaan Negeri Indragiri Hilir (Inhil)**: Tersangka Herwan disangkakan melanggar Pasal 378 KUHP karena menjanjikan kepada korban, Jamriah, untuk menjadi tenaga honorer di Kantor Depag dengan memberikan sejumlah uang sebesar Rp.17.750.000. Namun, janji tersebut tidak terlaksana, menyebabkan korban mengalami kerugian. Setelah kasus ini diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU), dilakukan upaya perdamaian yang diinisiasi oleh Jaksa Fasilitator. Para pihak kemudian menyepakati perdamaian dengan syarat ganti kerugian kepada korban, ancaman pidana di bawah 5 tahun, mendapatkan pemaafan dari keluarga korban, dan ini adalah pertama kali tersangka melakukan tindak pidana.

Kasus Tersangka Okto Sufrianto dari Kejaksaan Negeri Dumai**: Okto Sufrianto disangkakan melanggar Pasal 372 KUHP karena menggadaikan satu unit sepeda motor tanpa izin pemilik, Santoso, untuk membayar biaya pengobatan adiknya, yang menyebabkan kerugian sebesar Rp.17.000.000. Setelah penyidikan lengkap, JPU memfasilitasi upaya perdamaian antara para pihak. Kedua belah pihak kemudian sepakat untuk berdamai tanpa syarat. Saksi korban memaafkan perbuatan tersangka atas dasar kemanusiaan, ancaman pidana di bawah 5 tahun, dan ini adalah pertama kali tersangka melakukan tindak pidana.

Kasus Tersangka Teja Lesmana dari Kejaksaan Negeri Pekanbaru**: Tersangka Teja Lesmana disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP karena mencuri satu unit handphone milik Leonardo yang sedang diisi daya di pos security, menyebabkan kerugian sebesar Rp.3.000.000. Setelah kasus ini diserahkan kepada JPU, difasilitasi perdamaian antara para pihak. Pada tanggal 4 Juli 2024, di Kejaksaan Negeri Pekanbaru, para pihak sepakat untuk berdamai tanpa syarat, dengan disaksikan oleh tokoh masyarakat. Kerugian yang dialami tidak lebih dari Rp.2.500.000 dan ancaman pidana di bawah 5 tahun.

Alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam ketiga kasus ini meliputi:
Telah dilaksanakan proses perdamaian di mana tersangka telah meminta maaf kepada korban dan korban memberikan maaf. Tersangka belum pernah dihukum.
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.

Ancaman pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
Tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.

Proses perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa syarat. Masyarakat memberikan respon positif terhadap penghentian penuntutan ini.

Setelah persetujuan penghentian penuntutan diberikan, Kepala Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Kepala Kejaksaan Negeri Dumai, dan Kepala Kejaksaan Negeri Indragiri Hilir kemudian menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum, sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.(AH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *