Scroll untuk baca artikel
BeritaDepok

Penasihat Hukum Yusra Amir Ajukan Pembelaan, Desak Pengalihan Kasus ke Ranah Perdata

×

Penasihat Hukum Yusra Amir Ajukan Pembelaan, Desak Pengalihan Kasus ke Ranah Perdata

Sebarkan artikel ini

Views: 929

DEPOK, JAPOS.CO – Persidangan pembacaan duplik dalam kasus Yusra Amir berlangsung di Pengadilan Negeri Depok Senin, 24 Juni 2024. Dalam sidang tersebut, penasihat hukum terdakwa, Mathilda SH, menyampaikan argumen bahwa kasus yang melibatkan kliennya seharusnya ditangani dalam ranah perdata, bukan pidana.

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

Mathilda menjelaskan bahwa perkara ini berawal dari perjanjian jual beli antara saksi korban dan terdakwa. Karena Yusra Amir tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian tersebut, Mathilda berpendapat bahwa kasus ini masuk dalam lingkup perdata.

“Oleh karena itu, kami meminta agar Yusra Amir dibebaskan dari segala tuntutan hukum,” tegas Mathilda dihadapan awak media usai sidang di kantor PN Depok,Senin malam ( 24/6)

Dalam sidang, Mathilda juga mengkritisi penuntut umum yang tidak menghadirkan Oktavia Safitri, istri dari almarhum Mulya Wibawa, sebagai saksi kunci. Menurutnya, kehadiran Oktavia sangat penting untuk mengungkapkan penerimaan uang Rp 2 miliar yang dikumpulkan oleh teman-teman suaminya, termasuk Daud Kornelis Kamaruddin. Ketidakhadiran Oktavia dalam persidangan dianggap sebagai upaya untuk menyembunyikan fakta.

Mathilda juga menyoroti kwitansi tanpa tanggal yang ditandatangani terdakwa, yang menurutnya sebenarnya bertanggal 31 Mei 2019, bukan 25 Oktober.

“Jika transaksi ini benar dilakukan pada 25 Oktober, mengapa dalam tanggal-tanggal kwitansi penerimaan uang yang ditujukan oleh penuntut umum sudah menyebutkan peralihan hak?” ujarnya.

Lebih lanjut, Mathilda menunjukkan bukti dari penuntut umum nomor 16 yang menyatakan bahwa Eddy Kimas menerima uang titipan pembayaran jual beli tanah sebesar Rp 400 juta pada 28 Mei 2019 dari Daud Sekarmadidjaja kepada Oktavia Safitri. Ini membuktikan bahwa penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) No. 7 sebenarnya terjadi pada 31 Mei 2019, bukan 25 Oktober 2019.

Mathilda juga mengkritisi penulisan penuntut umum pada halaman 59 No. 15 surat tuntutan, yang menyebut adanya kwitansi setor koperasi ke Yusra Amir senilai Rp 1 miliar untuk tanah 1,2 hektar pada 31 Mei 2019. Menurutnya, penulisan tersebut tidak lengkap dan memanipulasi fakta yang sebenarnya.

“Penyidik dan penuntut umum diduga membuat skenario jahat untuk menjerat Yusra Amir tanpa bukti kuat. Jika benar transaksi tersebut dilakukan pada 25 Oktober 2019, hal ini akan terlihat dalam pengecekan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun tidak ada pengecekan pada tanggal tersebut,” jelas Mathilda.

Dalam duplik atas replik penuntut umum, Mathilda meminta majelis hakim untuk mengesampingkan tuntutan dan replik penuntut umum.

“Kami memohon kepada majelis hakim yang mulia agar menjatuhkan putusan pertama yang menyatakan terdakwa Yusra Amir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pidana penipuan. Kedua, memulihkan hak, harkat, dan martabat terdakwa Yusra Amir, memerintahkan pelepasan terdakwa dari tahanan rumah, serta menyerahkan barang bukti kepada yang berhak dan membebankan biaya perkara kepada negara,” pungkas Mathilda.

Sidang pembacaan duplik ini dipimpin oleh Majelis Hakim Ultry Meilizayeni dengan anggota Zainul Hakim Zainuddin dan Andry Eswindi. Sidang lanjutan dengan agenda putusan akhir dijadwalkan  1 Juli 2024.( Joko Warihnyo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *