Views: 1K
SUKABUMI, JAPOS.CO – Puluhan wartawan di Sukabumi yang tergabung dalam organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggeruduk Gedung DPRD Kota Sukabumi, Rabu (22/05/2024) untuk menyampaikan penolakan terhadap Revisi Undang-Undang Penyiaran.
Sebelumnya, para wartawan berorasi didepan Balai Kota Sukabumi dengan membawa berbagai poster.
Para wartawan menanggap, Revisi UU Penyiaran sebagai simbol kemunduran dan upaya pembungkaman terhadap kemerdekaan pers.
Koordinator Lapangan, Herland Heryadie menegaskan, aksi tersebut digelar sebagai bentuk penolakan terhadap Revisi UU Penyiaran yang dinilai akan menjadi alat untuk membungkam kebebasan pers.
“Mari kita kawal UU Penyiaran ini agar tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan pers serta krestivitas individu diberbagai platform media,” ujarnya.
Dia juga mendesak agar Forkopimda dan DPRD Kota Sukabumi khususnya untuk segera berkirim surat ke Komisi I DPR RI terkait dengan penolakan Revisi UU Penyiaran.
Sementara Ketua IJTI Sukabumi, Raya Apit Haeruman mengatakan, para wartawan menolak sekaligus meminta untuk mencabut sejumlah pasal dalam draf Revisi Undang-Undang Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers.
Pasal-pasal dimaksud antara lain, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang mengatur ihwal pelarangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi.
Selain itu, pasal 50 B ayat 2 huruf k, penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Dan pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Kami (wartawan) sepakat dan tegas menolak sekaligus meminta sejumlah pasal kontroversi dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran dicabut,” ujarnya.
Dia menyebut pasal pasal 50 B ayat 2 huruf c itu sangat bertentangan, sebab, karya jurnalisme investigasi merupakan karya tertinggi seorang wartawan.
Sementara pasal 50 B ayat 2 huruf k, menurutnya menimbulkan berbagai penafsiran, terutama menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik, sehingga, pasal tersebut dipandang multitafsir dan membingungkan. Menurutnya hal ini bisa menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasi pers.
“Apalagi pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2. Pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers,” tandasnya.(ars)