Views: 962
SUKABUMI, JAPOS.CO – Tiga organisasi profesi wartawan atau jurnalis melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Kota Sukabumi pada Rabu (22/5/2024). Mereka menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang saat ini sedang dibahas di DPR RI.
Ketiga organisasi itu adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Biro Sukabumi, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sukabumi Raya, dan Persatuan Wartawan Infonesia (PWI) Kota Sukabumi. Titik demonstrasi dimulai dari Balai Kota Sukabumi lalu bergerak mundur menuju gedung DPRD.
Orasi penolakan terhadap revisi UU Penyiaran dilakukan bergantian oleh perwakilan massa aksi. Para orator menegaskan revisi tersebut akan mempersempit ruang gerak jurnalis. Sejumlah pasal dianggap berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers di Indonesia dan hak publik atas informasi.
“Revisi UU Penyiaran ini akan membawa masa depan jurnalisme tanah air menuju kegelapan,” kata perwakilan AJI Biro Sukabumi, Handi Salam.
Handi menilai pemerintah berniat melakukan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak warga negaranya. Lapisan pelanggaran melalui revisi ini juga mengkhianati semangat negara demokratis yang telah terwujud melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Para jurnalis menandatangani pernyataan penolakan terhadap revisi UU Penyiaran di depan gedung DPRD Kota Sukabumi di Jalan Ir H Juanda, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi, Rabu (22/5/2024).
Sementara itu, Ketua IJTI Sukabumi Raya Apit Haeruman mengungkapkan revisi UU Penyiaran merupakan bentuk pembungkaman terhadap kemerdekaan jurnslis.
“RUU Penyiaran ini pun dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers.
“Alhamdulillah kami diterima oleh sejumlah anggota dewan perwakilan DPRD Kota Sukabumi. Surat pernyataan yang kami berikan akan difaksimile ke DPR RI. Mudah-mudahan ini menjadi salah satu upaya melawan pembungkaman kemerdekaan pers,” ujar dia mewakili peserta aksi lainnya.
Wakil Ketua DPRD Kota Sukabumi Fraksi Partai Golkar Jona Arizona mengatakan revisi UU Penyiaran masih dalam pembahasan Komisi I DPR RI untuk selanjutnya disampaikan ke Badan Legislasi DPR RI. Pada 2012, kata Jona, rencana serupa sempat muncul, namun tidak dilanjutkan.
“Saat ini jurnalis se-Indonesia menyampaikan aspirasi yang sama. Tahapan selanjutnya Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI menyampaikan kepada Badan Legislasi DPR RI. Tahapannya sangat panjang, ada sinkronisasi dan harmonisasi, tidak serta merta UU 32 Tahun 2002 bisa direvisi,” katanya.
Jona mengatakan DPRD Kota Sukabumi sejalan dengan keinginan jurnalis. Pihaknya menandatangani surat pernyataan dan telah mengirimkannya ke Komisi I DPR RI.
“Kami pimpinan sejalan dengan aspirasi kawan-kawan. Kami DPRD Kota Sukabumi mendukung sepenuhnya, akan kami tandatangani, kami sampaikan ke DPR RI sebelum sinkronisasi dan harmonisasi ke Baleg DPR RI,” ujar dia.
Mengutip siaran pers AJI, berikut beberapa pasal dalam revisi UU Penyiaran yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi:
Pasal 50B ayat (2)
– Larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
– Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender.
– Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Pasal 8A huruf q Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran.
Pasal 42
– Muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
– Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun catatan kritisnya adalah sebagai berikut:
Pertama, larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada penyelenggaraan negara. Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana check and balances bagi berlangsungnya kehidupan bernegara, pemerintah justru memilih untuk menutup kanal informasi tersebut. Hal ini bukan fenomena yang mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Indonesia yang anti-kritik, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan berpikir.
Kedua, larangan terhadap penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+, yang dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya non-inklusif dalam kerja-kerja jurnalistik.
Ketiga, Pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif melalui pasal-pasal pemberangus demokrasi berdalih perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik yang semakin dilegitimasi melalui RUU Penyiaran. Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat pada umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya.
Keempat, pemerintah berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers. Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.(ASR)