Scroll untuk baca artikel
BeritaDepok

Pengamat Politik Unas: Sistem Presidensial dengan Sentuhan Parlementer Berisiko Melahirkan Kabinet yang ‘Gemuk’

×

Pengamat Politik Unas: Sistem Presidensial dengan Sentuhan Parlementer Berisiko Melahirkan Kabinet yang ‘Gemuk’

Sebarkan artikel ini

Views: 1.2K

DEPOK, JAPOS.CO – Dr. Selamat Ginting, seorang pengamat politik terkemuka dari Universitas Nasional (Unas), memberikan pandangan tajam mengenai dilema sistem pemerintahan Indonesia yang, meskipun bersifat presidensial, memiliki nuansa kuat sistem parlementer.

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

Menurutnya, kondisi ini sering kali memicu presiden terpilih untuk membentuk kabinet yang gemuk sebagai langkah strategis memperkuat dukungan parlemen.

Keterangan ini disampaikan Dr,Selamat Ginting  dalam sebuah diskusi terbuka yang diadakan di Kampus Unas, Jakarta, yang mengangkat topik tentang dinamika politik terkini.

Ginting menyoroti bagaimana struktur politik saat ini mempengaruhi pembentukan kabinet. “Dalam pemilihan Presiden 2024, kita melihat Prabowo Subianto berhasil memenangkan kursi presiden, tetapi partainya, Gerindra, hanya menduduki posisi ketiga dalam perolehan kursi parlemen,” ungkapnya.

Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun seorang kandidat dapat terpilih sebagai presiden, dukungan parlemen yang lemah bisa memaksa mereka untuk menyesuaikan struktur kabinet secara signifikan.

Menurut Ginting, Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung Prabowo hanya menguasai 48,3% kursi di DPR, sementara lawan politiknya—yang mendukung Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo—mendapatkan mayoritas 51,7%.

“Ini sering kali mendorong presiden untuk membentuk kabinet gemuk, dengan mengakomodasi berbagai kepentingan politik guna mengamankan dukungan yang stabil di parlemen,” jelas Ginting.

Dalam observasinya, Ginting juga mengkritik rencana Prabowo untuk menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 sebagai langkah yang berpotensi melanggar hukum jika tidak didahului dengan revisi UU Kementerian Negara. “Perubahan semacam ini membutuhkan fondasi hukum yang kuat untuk menghindari pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara,” tegasnya.

Lebih jauh, Ginting memperingatkan tentang risiko mengulangi kesalahan masa lalu, mengacu pada periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi), yang kedua-duanya dihadapkan pada situasi serupa dan terpaksa merangkul lawan politik dalam kabinet mereka.

“Pembentukan kabinet harus lebih fokus pada kualitas daripada kuantitas, dengan menekankan pentingnya zaken kabinet yang independen dan berbasis keahlian, bukan hanya sekadar pemenuhan kuota politik,” ujar Ginting.

Dengan keahliannya yang mendalam baik sebagai akademisi maupun mantan wartawan politik, Ginting menegaskan bahwa tantangan terbesar bagi Prabowo adalah keberanian dalam mengambil keputusan yang akan menentukan arah dan efektivitas pemerintahannya di masa yang akan datang.( Joko Warihnyo )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *