Views: 379
CIAMIS, JAPOS.CO – Pembangunan berperspektif hak anak memerlukan proses yang berkesinambungan dari berbagai pihak. Sosialisasi KHA menjadi sangat penting untuk meningkatkan komitmen guna mendorong Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Lembaga serta masyarakat agar lebih berperan aktif bersama lindungi anak.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA, dengan demikian sebagai individu maupun negara sudah seharusnya setiap orang menyimak rumusan KHA, dan mampu mendapat pemahaman mengenai Hak Anak. Upaya signifikan terkait ratifikasi KHA juga ditunjukkan dengan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak, pembentukan kelembagaan dan rencana aksi dalam rangka pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak.
KHA dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan prinsip dalam mewujudkan pemenuhan hak dan perlindungan anak, yang meliputi hak hidup, tumbuh kembang dan hak partisipasi serta kepentingan terbaik bagi anak. “Namun mirisnya, pelanggaran atas hak anak kerap terjadi di berbagai daerah, hal ini terlihat dari tingginya kasus kekerasan terhadap anak, “ ungkap Adi Prasetyo salah satu pemateri pada acara Bimtek Konvensi Hak Anak yang digelar oleh DP2KBP3A Kabupaten Ciamis bertempat di Hotel Harmoni Tasikmalaya, Senin (31/7) – Selasa (1/8).
Adi Prasetyo yang merupakan divisi pendamping anak yang berhadapan dengan hukum dari LPKS Yayasan Bahtera (Bina Sejahtera Indonesia) yang beralamat di Jl. Batu Indah 7 No. 12 Batununggal Bandung berharap, dengan dipahaminya KHA mampu meningkatkan sensitifitas dan kepedulian para pihak untuk bersama hadir dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak dalam wujud karya nyata. “Lahirnya kebijakan terkait Perlindungan Anak yang benar-benar responsif terhadap pemenuhan hak anak dan bersifat implementatif, serta memastikan tersedianya lembaga layanan untuk anak yang didukung oleh SDM yang handal dan terlatih, baik di Pusat maupun di daerah. Anak yang terlibat dalam pusaran perdagangan anak rentan kembali ke dunia yang sama. Diperlukan penanganan yang tepat untuk mencegah hal itu terjadi,” ujar Adi.
Untuk itu, kata Adi, pihaknya dalam hal ini Yayasan Bahtera (Bina Sejahtera Indonesia) konsen terhadap permasalahan yang terjadi terhadap anak. “Di bangunan berwarna hijau di kawasan Batununggal, Bandung, Jawa Barat sekilas nampak seperti rumah biasa. Tak ada teralis besi di jendela atau pun pos penjagaan di depan rumah. Pintu dan pagar rumah juga dibiarkan terbuka. Di rumah yang dikelola oleh Yayasan Bina Sejahtera Indonesia (Bahtera) Bandung inilah anak yang berhadapan dengan hukum menjalani rehabilitasi sosial. Mereka mengikuti beragam program pendampingan sebelum dikembalikan kepada keluarga, “ katanya.
Anak-anak yang tengah menjalani rehabilitasi di Yayasan Bahtera berasal dari beragam latar belakang kasus. Mulai dari kasus perdagangan orang, pembunuhan, pencabulan, hingga perampokan. “Di antara mereka ada yang masih menjalani proses hukum, ada pula yang menjalani masa hukuman. Anehnya, tak satupun anak yang pernah mencoba kabur dari Yayasan Bahtera meski tak ada penjagaan ketat disana. Hal ini terjadi karena anak-anak menganggap tempat tersebut selayaknya rumah. Kehangatan dari “keluarga” baru mereka rasakan di sana, “ ungkap Adi.
Di mata salah satu anak, KI (17) misalnya, kabur menjadi pilihan yang tidak bertanggung jawab. Pandangannya ini amat lumrah, mengingat selama enam bulan di sana, pendamping terus menanamkan rasa tanggung jawab pada dirinya. Hal ini sekaligus membuatnya tak ingin mengulangi perilaku buruknya di masa lalu. “Di sini semuanya dianggap saudara. Kami makan bersama, tidur bersama. Benar-benar seperti keluarga. Kalau sedih tinggal curhat ke siapa pun,” ungkapnya.
Menurut Child Protection Specialist Yayasan Bahtera, Faisal Cakra Buana, para pendamping memang sengaja menciptakan atmosfer rumah bagi para anak. Mereka berupaya menciptakan lingkungan senyaman mungkin agar anak tidak merasa jenuh dan punya niatan kabur. Selain memberikan konseling, para pendamping juga selalu berupaya untuk menghormati harga diri dan martabat anak. Setiap hari mereka diberikan senyuman, sapaan, candaan, hingga tatapan yang ramah. Lewat cara ini, mereka percaya embrio perubahan perilaku anak akan terbentuk.
Faisal menilai kesalahan yang dilakukan oleh anak tak lepas dari pola asuh yang salah dari orangtua. Anak menjadi tidak nyaman berada di rumah hingga akhirnya berbuat onar. Dari sini Yayasan Bahtera mencoba menerapkan pengasuhan ulang berbasis rumah agar perilaku mereka berubah. “Setiap anak yang melakukan tindak pidana adalah anak yang mengalami traumatik. Proses rehabilitasi ini adalah menekan traumatik, agar perilaku buruknya terpendam,” ujarnya.
Perubahan perilaku ini idealnya juga dilakukan oleh keluarga inti dari anak yang berhadapan dengan hukum. Tanpa hal itu, perilaku buruk anak dapat kembali muncul sewaktu-waktu. Oleh sebab itu, orangtua juga harus diberikan pendampingan. “Anak tidak akan mengubah perilaku selama orangtua tidak mengubah perilaku. Jika orangtua tidak mengubah perilaku, pendampingan gagal sebenarnya. Meski dilakukan dengan seabrek program selama berbulan-bulan,” tambah Faisal.
Dalam kurun waktu tertentu, pendamping juga akan melakukan reintegrasi sosial antara anak dengan orangtuanya. Proses ini memberikan kesempatan bagi anak untuk kembali ke rumah selama beberapa hari. “Tujuannya adalah untuk melatih kembali hubungan orangtua dan anak. Kunci keberhasilan lain untuk mencegah anak kembali ke perilaku melawan hukum adalah dengan memberi bekal keterampilan. Lewat cara ini, anak dapat berdaya dan meninggalkan ketergantungan pada dunia hitam yang sempat melenakan mereka, “ tandasnya. (Mamay)