Scroll untuk baca artikel
BeritaDKIHEADLINEJakarta Pusat

Peryataan Sikap KPCDI Atas Marak Kasus Jual-Beli Organ di Indonesia

×

Peryataan Sikap KPCDI Atas Marak Kasus Jual-Beli Organ di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Views: 243

JAKARTA, JAPOS.CO – Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir mengapresiasi langkah kepolisian dalam menindakan tegas pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Polisi telah menetapkan 12 orang sebagai tersangka dalam kasus penjualan organ ginjal jaringan Kamboja di Kecamatan Tarumaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

“Kita bersepakat dan mendukung aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan dan ini harus diapresiasi,” kata Tony di Jakarta, Senin (24/7).

Namun, penindakan ini bukanlah akhir dari kasus-kasus perdagangan manusia—dalam hal ini penjualan organ ginjal. Dalam beberapa tahun terakhir, kejadian serupa terus saja berulang dan menandakan adanya kelemahan sistem dari negara dalam melindungi segenap kepentingan warganya untuk kesehatan.

Ginjal sendiri merupakan salah satu organ dalam yang paling diminati oleh banyak pihak. Musababnya, bagi orang dengan penyakit ginjal kronik dan sedang menjalani terapi cuci darah (hemodialisis), transplantasi ginjal menjadi jalan keluar satu-satunya jika ingin memiliki kualitas hidup yang lebih baik layaknya orang sehat.

Tidak hanya itu, transplantasi ginjal juga memiliki keuntungan dari sisi pembiayaan jika dibandingkan dengan cuci darah. Contohnya, untuk sekali cuci darah pasien membutuhkan anggaran sebesar Rp1 juta—dan harus dilakukan 2-3 kali dalam satu minggu. Jika ditotal tentu dalam satu tahun, per pasien cuci darah bisa menghabiskan anggaran ratusan juta.

Sementara itu, untuk biaya satu kali transplantasi ginjal anggaran yang saat ini ditanggung oleh BPJS Kesehatan mencapai Rp420 juta. “Seharusnya ini bisa jadi jalan keluar bagi negara. Dari kasus ini kita belajar bahwa sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga khusus donor organ, sama halnya seperti donor darah. Mau donor darah sukarela, datangnya ke PMI. Begitu juga dengan donor ginjal, ada lembaga mengaturnya,” kata Tony.

Pun, Tony melihat berulangnya kasus seperti ini adalah bentuk lambatnya implementasi ragam kebijakan yang dilakukan pemerintah. Apalagi, ketiadaan lembaga donor organ membuat banyak orang baik di Indonesia kebingungan dalam hal mendonorkan organnya. Akibatnya, para orang baik tersebut dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab.

Kami mendesak pemerintah segera membentuk lembaga donor organ agar setiap orang yang mau mendonorkan organ memiliki tujuan yang tepat demi menyelamatkan ratusan ribu pasien di indonesia. Di sisi lain, pemerintah juga harus membuat sistem daftar tunggu pasien, registrasi donor, skala prioritas, dan kartu pendonor agar pendataannya profesional, seperti yang dilakukan negara maju lainnya.

“Ini salah satu bentuk lambatnya pemerintah untuk mengeksekusi dari setiap kebijakan yang sudah ada. Akibatnya donor illegal semakin marak dan sulit untuk ditekan,” ujarnya.

Jika kejadian ini tidak menjadi pembelajaran seluruh pihak—dalam hal ini pemerintah—Tony khawatir ke depan akan banyak orang yang seyogianya ingin mendonorkan organnya secara sukarela menjadi takut. Pihak rumah sakit dan dokter juga bisa saja menolak melakukan operasi transplantasi ginjal karena khawatir organ yang didapatkan terindikasi dari ilegal donor.

“Jangan sampai orang baik yang ingin mendonasikan ginjal secara sukarela jadi takut karena dicurigai ada unsur jual beli organ. Begitu juga rumah sakit dan dokter, akhirnya menolak calon resipien dan donor yang bukan dari keluarga. Padahal, keselamatan pasien adalah hukum tertinggi di negeri ini,” tutupnya.(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *