Views: 295
MAKASSAR, JAPOS.CO – Penyidikan kasus kematian mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Jurusan Arsitektur Universitas Hasanuddin (Unhas), Virendy Marjefy Wehantouw (19) yang meninggal dunia secara tragis dan penuh misteri pada 13 Januari 2023 saat mengikuti kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) dan Orientasi Medan (Ormed) XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas, hingga kini masih berproses di Kepolisian Resor (Polres Maros) dan belum mampu diungkap tuntas serta terang benderang terhadap motif sesungguhnya dibalik peristiwa memilukan itu.
Kuasa hukum keluarga almarhum Virendy, Yodi Kristianto, SH, MH ketika dihubungi media ini, Senin (03/07/2023) menjelaskan, meski penyidik Satreskrim Polres Maros telah memeriksa puluhan saksi dan menetapkan hanya 2 (dua) tersangka yakni Ketua UKM Mapala 09 FT Unhas Ibrahim bersama Ketua Panitia Diksar & Ormed XXVII Farhan, serta melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Maros yang kemudian mengembalikan lagi, namun kliennya tidak merasa puas dan berkeras meminta kepada aparat penegak hukum Polda Sulsel untuk melakukan gelar perkara khusus.
Penyebabnya, menurut pengacara muda itu, selain menilai tidak profesionalnya penyidik Satreskrim Polres Maros dalam bekerja menangani perkara yang menarik perhatian publik ini hingga penetapan tersangka dan penerapan pasal pidana yang sangat kontroversial maupun tak ditahannya kedua tersangka, keluarga almarhum Virendy juga mempersoalkan terkait tidak diseretnya sejumlah pejabat di jajaran Unhas selaku institusi yang paling bertanggungjawab atas peristiwa kematian mahasiswanya.
Diungkapkan Yodi, pihak Unhas secara kelembagaan dan khususnya Rektor Prof Jamaluddin Jompa sejak peristiwa kematian Virendy dinilai tak punya sedikitpun rasa kemanusiaan, empati dan kepedulian serta berupaya melepaskan tanggungjawab dari peristiwa ini dengan mengumbarkan pernyataan-pernyataan tidak sesuai fakta di berbagai media yang terkesan hanya pencitraan belaka sebagai upaya menggiring opini publik dalam menjaga nama baik perguruan tinggi negeri tersebut.
Orang suruhan Rektor akhirnya bertemu dengan James Wehantouw (ayah Virendy) di Red Corner Cafe Jl. Yusuf Dg Ngawing, Makassar, Kamis (20/04/2023) malam. Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa Rektor minta berdamai dengan bargaining pihak keluarga almarhum mencabut laporan perkara pidana yang sementara ditangani Satreskrim Polres Maros.
Untuk mekanisme awal, pihak keluarga akan dipertemukan dengan Wakil Rektor 1 Prof Muhammad Ruslin dan Dekan FT Unhas Prof Muhammad Isran Ramli.
Jika sudah bertemu dengan WR 1 dan Dekan FT Unhas serta tercapai kesepakatan untuk berdamai, selanjutnya keluarga almarhum Virendy akan dipertemukan dengan Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa untuk membahas lebih lanjut berbagai hal terkait kewajiban masing-masing pihak, seperti teknis pencabutan laporan perkara pidana di kepolisian dan menyangkut pemberian santunan maupun tuntutan ganti rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban Unhas atas peristiwa yang telah merenggut nyawa seorang mahasiswanya.
Kendati orang suruhan Rektor Unhas ini telah memberikan gambaran tentang jadwal pertemuan bersama WR 1 dan Dekan FT Unhas sekitar 2-3 hari kedepan, namun rencana tersebut tak pernah terealisasikan dan tidak diketahui penyebabnya. “Hampir sebulan lamanya klien kami menunggu kabar, tapi orang suruhan Rektor Unhas itu tak pernah menghubungi lagi. Klien kami pun tak perduli dan terus fokus mengawal proses penyidikan kasus kematian Virendy yang sedang ditangani Satreskrim Polres Maros,” ujarnya.
Sebulan berlalu setelah pertemuan di Cafe Red Corner, tiba-tiba Rektor Unhas mengutus lagi seseorang yang kemudian diketahui teman kost Jamaluddin Jompa semasa kuliah. Orang utusan Rektor yang juga merupakan teman dekat ayah Virendy, selanjutnya menyampaikan jika Rektor telah menugaskan Direktur Hukum Unhas Prof Amir Ilyas dan Dekan FT Unhas Prof Muhammad Isran dan meminta keluarga almarhum bersama tim kuasa hukumnya berkenan menghadiri undangan pertemuan silaturahmi yang diagendakan pada Rabu (24/05/2023) malam di Rumah Makan Ali Murah Jl. Perintis Kemerdekaan, berlokasi tak jauh dari Pintu 1 Kampus Unhas Tamalanrea.
Dalam pertemuan itu, ayah almarhum Virendy pun angkat bicara memaparkan kronologis sejak pertama kali melihat buah hatinya sudah terbujur kaku tak bernyawa dan penuh luka serta lebam di kamar jenazah Rumah Sakit Grestelina pada Sabtu (14/01/2023) pagi, hingga dibawa ke rumah duka di Perumahan Taman Telkomas untuk disemayamkan selama beberapa hari dan kemudian dimakamkan di Pekuburan Kristen Pannara, Kota Makassar pada Senin (16/01/2023) siang.
Menurut pengacara muda berdarah Kalimantan ini, setelah mendengar pemaparan dari ayah almarhum yang mempersoalkan pula tentang tidak diseretnya beberapa pejabat Rektorat Unhas dan Dekanat FT Unhas sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dibalik peristiwa tragis tersebut, Prof Amir Ilyas kembali angkat bicara dan secara gamblang menyampaikan permohonan maaf dan turut berdukacita yang mendalam dari Rektor Unhas dan jajarannya atas kematian Virendy, cucu dari almarhum Prof. Dr. O. J. Wehantouw, MS.
Pada kesempatan itu pula, Prof Amir Ilyas secara gamblang mengemukakan keinginan Rektor untuk berdamai dengan keluarga almarhum agar kasus ini tidak berlarut-larut memunculkan opini-opini negatif di publik yang terus mengikuti perkembangan perkara tersebut.
Diceritakan Yodi lagi, mengakhiri pertemuan silaturahmi ini, Prof Amir Ilyas meminta kepada orang tua Virendy untuk menyerahkan dan mempercayakan sepenuhnya ke tim kuasa hukum dan dirinya terkait tindak lanjut pembahasan mekanisme dan teknis perdamaian yang tidak merugikan kedua belah pihak, Unhas dan keluarga almarhum Virendy.
Usai pertemuan silaturahmi di Rumah Makan Ali Murah, keesokan harinya Prof Amir Ilyas bertemu dengan Yodi Kristianto, SH, MH di sebuah kafe di kawasan BTP. Dalam pertemuan empat mata itu, Direktur Hukum Unhas ini kembali menegaskan bahwa Rektor Unhas minta laporan perkara di Polres Maros dicabut oleh pihak keluarga. Apabila laporan perkara dicabut, Rektor Unhas siap memenuhi tuntutan keluarga sebagaimana termaktub dalam surat somasi yang telah 3 kali dilayangkan tim kuasa hukum.
Pertemuan pertama yang dilakukan kedua praktisi hukum di Cafe Original Jl. Tamalanrea Raya di kawasan Perumahan BTP itu belum membuahkan kesepakatan yang diharapkan bersama. Pasalnya, awalnya Yodi menyampaikan keinginan keluarga almarhum yang bersedia berdamai dengan Rektor Unhas untuk perkara perdatanya saja dengan catatan sanggup memenuhi tuntutan dalam surat somasi, sedangkan perkara pidananya tetap berlanjut proses hukumnya.
Menanggapi hal itu, ungkap kuasa hukum, kembali Prof Amir Ilyas menyatakan bahwa Rektor Unhas menghendaki proses hukum perkara pidana maupun perdata harus dihentikan, dan mengenai salah satu poin tuntutan di surat somasi yang menyebutkan pihak Unhas wajib memberikan santunan sebesar Rp 2 milyar dinilai berat dan akan dinegosiasikan langsung kepada keluarga almarhum. Bahkan menurut Yodi, sempat terlontar ucapan dari mulut Prof Amir Ilyas bahwa, jika tidak ada kesepakatan berdamai, maka dana yang disiapkan Unhas untuk diberikan sebagai santunan kepada keluarga almarhum, akan dihamburkan saja ke institusi kepolisian dan kejaksaan.
Kendati belum tercapai kesepakatan, Prof Amir Ilyas minta diberi waktu untuk melaporkan hasil pertemuannya dengan kuasa hukum kepada Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa yang saat itu sedang berada di Amerika. Ia juga minta dipertemukan kembali dengan orang tua Virendy di pertemuan berikutnya untuk melakukan negosiasi langsung soal besaran nilai santunan. “Permintaan Prof Amir Ilyas langsung kami sampaikan ke orang tua Virendy yang kemudian bersedia untuk bertemu,” ucap Yodi.
Yodi mengisahkan lagi, meski ayah Virendy telah menurunkan besaran nilai santunan yang harus dipenuhi Rektor Unhas, namun rasa kecewa dan tidak puas masih menyelimuti kakak kandung almarhum, yakni Viranda Wehantouw yang spontan angkat bicara dengan nada suara agak emosional dan tampak mata berkaca-kaca.
Viranda mengemukakan juga, besaran nilai santunan yang tertera di surat somasi itu sesungguhnya tidak setara dengan nyawa Virendy.
“Coba Pak Rektor Unhas hitung kesemua yang saya uraikan itu. Dan kalo mau dihitung-hitung lagi, jika saja adik saya tidak meninggal dunia dan masih terus hidup serta menyelesaikan kuliahnya dan kelak jadi orang berguna bagi bangsa dan negara, mungkin lebih dari Rp 2 milyar bisa adik saya berikan untuk kami keluarganya,” tandasnya.
Pengacara Yodi Kristianto menjelaskan lagi, setelah pertemuan di The Gade Cafe BTP ini, tak ada lagi kabar dari Prof Amir Ilyas tentang keputusan Rektor Unhas soal perdamaian dan pemberian santunan. Pihak keluarga almarhum pun tetap bertekad menuntaskan dan terus mengawal kasus ini yang masih bergulir di Polres Maros. “Namun pada pertengahan Juni 2023 lalu, tiba-tiba Prof Amir Ilyas menghubungi saya dan mengabarkan jika Rektor Unhas hanya bersedia memberikan santunan sebesar Rp 50 juta. Perihal itu telah disampaikan pula oleh Prof Amir Ilyas via chat WA ke ayah Virendy,” imbuhnya.
Menurut Direktur Kantor Advokat dan Konsultan Hukum YK&Partners ini, apa yang disampaikan Prof Amir Ilyas jelas membuat keluarga besar almarhum Virendy merasa terhina dan seakan diinjak-injak harga dirinya. “Sesungguhnya nyawa Virendy tak bisa dinilai dengan uang atau materi. Pihak keluarga pun telah memutuskan untuk terus memperjuangkan hukum dan keadilan bagi almarhum Virendy sebagaimana harapan keluarga besar, teman-teman mahasiswa, lembaga-lembaga terkait, dan juga publik atau masyarakat luas yang selama ini berempati dan mengikuti perkembangan penanganan kasus ini,” pungkas Yodi Kristianto, SH, MH. (hk)