Scroll untuk baca artikel
BeritaHEADLINESUMATERASumatera Utara

Ketika Kritikan Warga Pendowo Limo di Jerat Pasal, Sudah Tidak Demokratiskah?

×

Ketika Kritikan Warga Pendowo Limo di Jerat Pasal, Sudah Tidak Demokratiskah?

Sebarkan artikel ini

Views: 157

PEMATANGSIANTAR, JAPOS.CO – Demokrasi mempertontonkan sebuah anomali. Kebebasan berpendapat yang menjadi pilarnya, nyatanya dikhianati sendiri. Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis, faktanya tak sepenuhnya menjalankan spirit berdemokrasi. Kebebasan dipasung negara serta para pemangku kepentingan jika dianggap inkonstitusional. Dan parahnya, hal tersebut dilakukan manakala kritikan warga masyarakat kecil di dusun pendependowo limo kecamatan Tanah Jawa kabupaten Simalungun bersuara kepada pemangku kepentingan.

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

Berbagai kebijakan pun digulirkan demi ‘mengatur’ agar suara kritikan tak berkembang biak. Sementara makna kritikan yang bertujuan baik membuka mata dan telinga serta perasaan hati yang membekuh Karena hakikatnya, secara bahasa kata kritik bukanlah sesuatu yang negatif.

Namun sayang, oleh Hukum hari ini, seolah disematkan pada sebuah kejahatan dan ancaman bagi negara maupun kelompok, atau yang bersentuhan langsung dengan sebuah kepentingan, sehingga wajib dibumihanguskan. Ironis!Begitulah jika sebuah istilah dijadikan alat untuk memukul lawan.

Hari ini, siapa saja yang menyerukan melalui sebuah kritik dan diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara langsung dituding memprovokasi serta menyebarluaskan. Menyusul hal tersebut, kritik terhadap penguasa serta pemangku kepentingan, dibungkam. Lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 menteri yang telah disahkan 12 November 2019 silam, pemerintah membuat beberapa aturan bagi para semua warga negara Hal tersebut tidak lain dalam rangka membungkam suara kritis.

  1. Penyampaian pendapat baik lisan maupun tulisan dalam format teks, gambar, audio, atau video, melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Pemerintah.
  2. Penyampaian pendapat baik lisan maupun tulisan dalam format teks, gambar, audio, atau video, melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antar golongan.
  3. Penyebarluasan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1 dan 2 melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost, dan sejenisnya).
  4. Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di media sosial.
  5. Pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.
  6. Penyebarluasan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.
  7. Penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.
  8. Keikutsertaan pada organisasi dan/atau kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.
  9. Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.
  10. Pelecehan terhadap simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial.
  11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai 10 dilakukan secara sadar oleh semua warga negara

Kesebelas larangan tersebut memotret dengan jelas betapa hukum dan pemangku kepentingan begitu paranoid terhadap kritikan. Bagaimana tidak, kritikan yang disematkan kepada warga negara atu masyarakatmasyarakat di pendowo limo kecamatan Tanah Jawa kabupaten simalungun, digebuk oleh hukum dan pemangku kepentingan sedemikian rupa. Lewat kuasa, suara kebenaran diredam. Ketidaksejalanan dengan pemangku kepentingan dianggap musuh. Sungguh ironis!

– Menciderai Demokrasi

Sungguh, hal tersebut sejatinya menciderai demokrasi yang katanya mengusung kebebasan berpendapat. Kritik terhadap pemangku kepentingan  merupakan bagian dari demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berarti semestinya aspirasi rakyat dijadikan rujukan utama dalam membuat kebijakan. Tak hanya itu, kritik terhadap pemangku kepentingan juga semestinya dijamin karena merupakan wujud kepedulian rakyat terhadap jalannya sebuah demokrasi.

Selayaknya prinsip demokrasi yang menjadikan suara rakyat bak suara Tuhan, semestinya apapun yang disuarakan rakyat didengar dan dijadikan bahan pertimbangan. Bukan malah diredam dan dibungkam. Sungguh, prinsip demokrasi pada akhirnya menguap sebatas teori saja. Lantas masih layakkah demokrasi dipertahankan?

– Kritik di bungkam

Membunuh kritik sama dengan melanggengkan kezaliman terhadap hak warga masyarakat yang notabene di perkosa hak kritiknya oleh penguasa atau pemangku kepentingan. Rakyat dipaksa bersikap apatis terhadap segala kondisi yang melilitnya. Lewat berbagai kebijakan, rakyat ditekan. Diancam pidana. Ini jelas sangat berbahaya.(ZULKARNAIN)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *