Views: 348
TRENGGALEK, JAPOS.CO – Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah salah satu program Pemerintah guna memudahkan masyarakat untuk mendapatkan sertifikat tanah secara gratis. Sertifikat cukup penting bagi para pemilik tanah, tujuan PTSL adalah untuk menghindari sengketa serta perselisihan di kemudian hari.
Terkait dengan pembiayaan persiapan PTSL yang tertuang didalam SKB 3 Menteri : Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No : 25/SKB/V/2017.
Tetapi sangat di sayangkan, program pemerintah yang digadang-gadang bisa membantu masyarakat itu malah sering dimanfaatkan oleh panitia dan oknum pemerintahan desa setempat yang kurang bertanggung jawab. Bahkan, patut diduga kuat dijadikan ajang meraup keuntungan pribadi ataupun kelompok-kelompok tertentu.
Sebagaimana halnya yang terjadi di Desa Gembleb, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Bahwa program PTSL disinyalir jadi sarana Pungutan Liar (pungli) oleh pihak panitia dalam hal ini Kelompok Masyarakat (Pokmas) serta oknum aparatur desa setempat hingga ratusan juta rupiah.
Munculnya angka itu, didasarkan pada hasil investigasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wadah Aspirasi Rakyat (WAR) dilapangan. Disampaikan oleh Ketua tim investigator yang juga Sekjend LSM WAR, Zainal Abidin, ST jika biaya yang dikeluarkan oleh pemohon PTSL sedikitnya Rp. 350.000,00 per bidang tanah. Bahkan, beberapa orang menyebut pernah stor kepada oknum tertentu hingga Rp. 500.000,00.
“Dari hasil investigasi kami (LSM WAR), beberapa pemohon sempat menyetor uang sekitar 350 ribu hingga 500 ribu rupiah perbidang kepada oknum tertentu,” kata dia. Senin, (14/11/2022).
Menurut dia, kebanyakan warga Desa Gembleb yang ditemui mengatakan cukup keberatan dengan biaya dimaksud. Karena, kemampuan masing-masing orang itu tidak sama. Sejumlah pemohon bahkan harus rela mencari pinjaman demi pembayaran mengurus sertifikat (melalui program PTSL). “Karena takut dikucilkan oleh masyarakat lain, dengan terpaksa para pemohon harus mengikuti apa yang katanya sudah menjadi kesepakatan bersama. Meski merasa keberatan, tidak ada yang berani menolak pembiayaan hingga harus cari pinjaman,” jelas Zainal.
Sementara itu, Ketua Pokmas PTSL Desa Gembleb, Sunarto dihubungi JAPOS.CO menandaskan kalau sebenarnya ketentuan hasil kesepakatan bersama untuk biaya perbidang Rp. 325.000,00. Jadi tidak benar, jika dikatakan lebih dari angka tersebut.”Sesuai kesepakatan biaya permohonan PTSL sebesar Rp. 325.000,- untuk satu bidang,” ungkapnya.
Sunarto merinci, dari uang yang dikumpulkan sebesar Rp. 325.000,- tersebut akan di pergunakan untuk beberapa keperluan. Diantaranya, pembelian materai, ATK, pembuatan patok, foto copy dan sekaligus didalamnya honorarium bagi anggota Pokmas sebesar Rp. 50.000,- per hari. “Pengeluaran yang paling besar untuk biaya makan dan minum (mamin). Sebab kita sering kerja lembur,” terangnya.
Dia juga mengakui, bahwa uang yang di kelola atau kebutuhan biaya untuk pembuatan sertifikat pada program PTSL di Desa Gembleb Tahun Anggaran 2022 ada sekitar Rp. 891.475.000,- dari 2743 bidang yang diajukan pemohon agar menjadi sertifikat hak milik (SHM).
Sedangkan ketika disoal mengenai biaya yang telah di pungut Pokmas itu bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 25 Tahun 2017 menerangkan untuk wilayah Jawa dan Bali dalam Kategori V sebesar Rp. 150.000,00 Sunarto juga mengakuinya, namun semua sudah berdasarkan kesepakatan. ” Memang itu menyalahi SKB, namun kebijakan tersebut sudah menjadi kesepakatan bersama,” pungkas Ketua Pokmas yang juga merangkap sebagai Ketua BPD Desa Gembleb tersebut.
Mensikapi dinamika ini, Kasatreskrim Polres Trenggalek, Iptu Agus Salim dikonfirmasi diruang kerjanya menegaskan ketika memang ada laporan masyarakat mengenai adanya dugaan potensi tindak pidana tetap akan diterima dan ditindak lanjuti. Pihaknya, secara prosedural dan profesional memastikan melakukan penanganan sesuai koridor hukum yang berlaku dengan tidak mengesampingkan azas praduga tak bersalah. ” Tiap laporan yang masuk selalu diterima, untuk kemudian ditelaah dan dikaji. Saat ditemukan potensi atau indikasi pidana, ya ditingkatkan ke proses selanjutnya. Tanpa mengesampingkan azas praduga tak bersalah tentunya,” pungkasnya. (HWi)