Views: 234
CIAMIS, JAPOS.CO – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jabar bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Ciamis dan pihak terkait lainnya melakukan sosialisasi penguatan program Bangga Kencana, terkait Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) bertempat di Aula Bappeda Ciamis, Selasa (28/6).
Tujuan dari kegiatan ini adalah terwujudnya kebersamaan pengertian, penafsiran serta persepsi dalam penyusunan GDPK khusus di Kabupaten Ciamis serta mendorong adanya peningkatan kualitas proses penyusunan dan pemanfaatan GDPK. Kegiatan ini juga mendorong terwujudnya GDPK sebagai dokumen perencanaan pembangunan yang berfungsi secara efektif dalam pelaksanaan pembangunan di bidang kependudukan.
Hal tersebut disampaikan Kepala Bappeda Ciamis, David Firda, S.H.,M.M melalui Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia, Aman S.Stp.,M.Si. dihadapan para perwakilan OPD Kabupaten Ciamis, koordinator bidang pengendalian penduduk perwakilan BKKBN Provinsi Jabar, Ketua Koalisi Kependudukan sekaligus Ketua Prodi Magister Ekonomi UNPAD, Rektor Universitas Galuh Ciamis dan wakil ketua III STIKes Muhammadiyah Ciamis serta Ketua IPKB Kabupaten Ciamis
Aman menegaskan, bahwa Grand Design ini sangat diperlukan oleh pemerintah kabupaten/kota, guna menjadikan pegangan bagi kepala daerah (bupati/wali kota) dalam melaksanakan program Kependudukan. “Grand Design ini juga dipergunakan dalam mendukung RPJMD di kabupaten/kota. Dimana dan sebagai bahan acuan Pembangunan Kependudukan. Misi pertama dalam RPJMD Kabupaten Ciamis tahun 2019-2024 adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Ini berarti bahwa untuk tercapainya visi Kabupaten Ciamis diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mempunyai kemampuan untuk mengolah sumber daya ekonomi yang tersedia guna meningkatkan kesejahteraan. Maka dari itu diperlukan suatu perencanaan pembangunan manusia secara sinergis dan terintegrasi, “ tegas Aman.
Maka dari itu, kata Aman, seluruh aktor pembangunan baik itu pemerintah maupun stake holder menyadari bahwa proses pembangunan memerlukan integrasi dan sinergitas antara variable demografi (kependudukan) dengan variable-variable pembangunan lainnya. “Hal ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 153 tahun 2014 tentang Grand Design Pembangunan Kependudukan yang mengamanatkan bahwa pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota diharuskan untuk menyusun GDPK sebagai kerangka pikir dan panduan untuk mengintegrasikan berbagai variable kependudukan ke dalam berbagai proses pembangunan daerah, “ katanya.
GDPK Memberikan arah kebijakan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk kabupaten/kota 2010-2035. GDPK juga menjadi pedoman penyusunan ROAD MAP pengendalian kuantitas penduduk kabupaten/kota 2021-2035. “Dan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dan lintas sektor terkait dalam perencanaan pembangunan yang berwawasan kependudukan. Dengan adanya GDPK diharapkan dapat menciptakan harmonisasi antar situasi dan kondisi dinamika kependudukan dengan dinamika kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik di daerah. Sehingga membantu memperkuat penyusunan dan implementasi perencanaan pembangunan daerah, “ tutur Aman.
Koordinator bidang pengendalian penduduk perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Barat, Irfan Indriastono, S.S.,M.Si., mengucapkan terima kasih atas dukungan Pemda, dengan digelarnya kegiatan Sosialisasi Penyusunan Grand Design Pembangunan Kependudukan sebagai bentuk keterpaduan perencanaan pembangunan di daerah dan pemerintah pusat. Karena apa ini menjadi penting, dimana sesuai arahan dari Bapak Presiden RI Joko Widodo kita harus membangun SDM (sumber daya manusia) yang berkualitas dan berdaya saing. “Untuk mendapatkan SDM berkualitas dan berdaya saing, yang pertama kita berbicara pembangunan berwawasan kependudukan. Oleh karena itu, kami sangat berterima kasih dengan adanya kegiatan ini untuk dapat disosialisasikan, “ ujar Irfan.
Sehubungan dengan hal itu, kata Irfan, pihak BKKBN sudah membentuk tim pendamping keluarga yang sudah siap untuk bertugas dalam rangka mendampingi kelompok sasaran kita. “Sehingga, hal ini tentu membutuhkan dukungan dari Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Ciamis maupun pimpinan OPD terkait lainnya. Terutama penanganan masalah stunting bisa berjalan dengan baik, “ katanya.
Kepala Daerah Harus Punya Visi Kependudukan
Kompleksitas permasalahan kependudukan di Jawa Barat sejatinya bisa diurai secara sederhana sehingga bisa ditemukan benang merah penyelesaiannya. Terlebih dalam konteks otonomi daerah yang memungkinkan setiap daerah mengembangkan kebijakan sesuai karakteristik masing-masing.
Hal tersebut disampaian Dr. Ferry Hadiyanto, M.A., Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Barat yang lebih dari 12 tahun lalu menjadi peneliti di Pusat Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Universitas Padjadjaran (Unpad).
Menurutnya, persoalan mendasar kependudukan di Indonesia ini berangkat dari tidak adanya satu lembaga khusus, sebutlah kementerian, yang secara khusus menangani kependudukan. Saat ini, kependudukan ditangani keroyokan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan BKKBN. Hasilnya menjadi tidak fokus. Hal ini kemudian berimbas ke daerah.
Sementara di Jawa Barat, problem utama kita sebenarnya bukan masalah kelahiran dan kematian, melainkan pengendalian (penduduk). Secara historis-geografis, Jabar merupakan daerah yang bersinggungan langsung dengan ibu kota negara, Jakarta. Itu yang menyebabkan Jawa Barat menjadi sangat penting kedudukannya. Karena itu, pengendalian ini menjadi harus dilakukan. Posisi ini berkaitan erat dengan migrasi, baik dari daerah lain maupun limpahan penduduk DKI yang kepadatannya sangat tinggi. Konsekuensinya, kebutuhan terhadap perumahan maupun area bisnis terus meningkat. Kepadatan pun tak bisa dihindari.
Kalau kita bicara fertilitas, ungkap Ferry, melihat dari data lima tahun terakhir, tampak sudah mengalami banyak penurunan. Itu juga merupakan kesuksesan di BBKBN dan Dinas Kesehatan dalam mengendalikan tingkat kelahiran bayi hidup. Dari riset terakhir yang dilakukan Unpad, angka kematian bayi termasuk kecil. Kabupaten dan kota di Jabar sudah relatif mampu mengendalikan angka kematian bayi. Artinya, kelahiran dan kematian sebagai penambah jumlah penduduk relatif dapat dikontrol. Tapi yang tidak bisa dikontrol itu adalah migrasi.
Dalam pelaksanaannya, peraturan daerah tentang RTRW atau rencana tata ruang wilayah selalu kalah oleh kepentingan lain. Pemerintah inkonsisten terhadap produk hukum yang dibuat oleh mereka sendiri. Di sinilah perlunya paradigma kependudukan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kependudukan haruslah jadi penentu determinan dalam pengambilan kebijakan. Sekarang, kependudukan ini bisa kalah oleh faktor lain seperti faktor ekonomi, sosial, politik, kepemerintahan, dan sebagainya. “Ya harus dari decision maker, dalam hal ini penguasa daerah. Jadi, bupati/wali kota, dan gubernur harus memiliki visi kependudukan. Kunci adalah bahwa kepala pemerintahan di tingkat provinsi, kabupaten/kota di Jawa Barat harus memiliki visi tentang pengendalian penduduk. Sepanjang dia tidak punya visi tentang pengendalian penduduk, maka jangan harap bahwa pembangunan kabupaten kota dan juga provinsi di Jawa Barat bisa mengalami akselerasi, “ ungkap Ferry.
Mungkin ada tetapi mungkin seringkali diabaikan, tukas Ferry, sebenarnya mungkin sudah ada, tapi ketika pengambilan kebijakan itu diambil sering kali aspek kependudukan diabaikan. Kepala daerah lebih mengedepankan faktor atau variabel determinan yang lain. “Bisa jadi, kondisi muncul karena tidak adanya lembaga yang memberikan informasi. Kepala daerah tidak mendapatkan informasi yang cukup bagus bagaimana bahaya ketika penduduk tidak dikendalikan. Di sisi lain, tidak ada advokasi dari lembaga lain atau perguruan tinggi tentang bahaya dan juga kemunduran pembangunan apabila penduduk ini tidak dikontrol, “ tukasnya.
Kini, tandas Ferry, dengan hadirnya Koalisi Kependudukan kita berusaha memberikan dorongan untuk memperkuat link and match antara unsur akademisi dengan pemerintah daerah, khususnya menyangkut tentang masalah kependudukan. “Mudah-mudahan bisa. Tapi itu tadi, kuncinya ada di match, bukan hanya link. Link sudah ada dari dulu, tapi match adalah pekerjaan berikutnya. Dua belah pihak mesti pas visi dan kerangka pikirnya. Artinya, antara akademisi dan bupati atau Bapeda di daerah harus memiliki visi yang sama, “ tandasnya. (Mamay)