Views: 166
PEKALONGAN, JAPOS.CO – Besaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Pekalongan kembali jadi polemik. Baik adanya keluhan dari PPAT (Pejabat Pembat Akta Tanah) maupun dari masyarakat. Persoalan tersebut kemudian diadukan ke DPRD yang selanjutnya mengundang pihak terkait untuk mencari solusi dalam rapat kerja Komisi B, kemarin.
Pihak Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tana (IPPAT) Kota Pekalongan mengeluhkan adanya ‘ketidakpercayaan’ dari pihak Badan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) terkait harga tanah hasil jual beli yang dilaporkan para pihak (penjual dan pembeli). Sehingga atas kondisi itu, BPKAD melakukan pemeriksaan terkait riwayat proses jual beli yang membuat proses pengurusan tanah hasil jual beli menjadi lebih lama.
Seperti diketahui, BPHTB dikenakan sebesar 5% dari harga jual beli tanah yang disepakati. Sehingga besaran nilai transaksi, menjadi dasar besaran pajak yang harus dibayarkan. Yang menjadi masalah, tidak semua harga tanah yang dilaporkan dinilai wajar oleh BPKAD sehingga dilakukan pemeriksaan untuk menentukan nilai transaksi yang terjadi. Hal ini kemudian dianggap sebagai proses ‘negosiasi’ oleh pihak BPKAD agar besaran BPHTB yang masuk bisa lebih besar.
Masalah tersebut sebelumnya sudah pernah dibahas dalam rapat kerja Komisi B DPRD atas dasar keluhan yang sama. DPRD menilai tak memiliki kewenangan lebih jauh terkait masalah tersebut karena baik pihiak PPAT maupun BPKAD masing-masing sudah menjalankan aturan yang berlaku.
“Saya melihat di sini hanya ada mis saja. Bukan ada permasalahan. Karena baik PPAT maupun BPKAD sudah menjalankan sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga ini harus dibicarakan antara dua pihak bagaimana solusinya,” tutur Anggota Komisi B, Budi Setiawan.
Dia menilai DPRD tak bisa ikt campur lebih jauh karena tidak ada permasaahan atau pelangaran yang dilakukan BPKAD yang merupakan mitra kerja DPRD.
“Kecuali ada masalah, misalnya untuk PPAT yang kenal dengan pejabatnya akan dipermudah atau masalah lain. Kalau ini hanya mis saja dan harus dibicarakan antar pihak terkait,” tambahnya.
Hal yang sama disampaikan Ketua Komisi B, Jecky Zam Zami. Jecky meminta pihak terkait agar bisa berkoordinasi untuk mencari solusi.
“Koordinasi yang baik antara pihak terkait, kami akan melihat ketemunya seperti apa karena masing-masing sudah menjalankan aturan yang ada. Harapan kami ini bisa dikoordinasikan dengan tujuan ujungnya kepentingan masyarakat, untuk kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Sementara Ketua DPRD Kota Pekalongan yang juga Koordinator Komisi B, M Azmi Basyir mengatakan, BPHTB merupakan salah satu komponen pendapatan pajak dengan sumbangsih yang besar untuk PAD Koa Pekalongan. Azmi menjelaskan, rapat kerja tersebut digelar dalam rangka memfasilitasi masing-masing pihak untuk mengungkapkan masalah dan kendala yang dihadapi sehingga bisa dicari titik tengah untuk dijadikan standar yang jelas dalam pengurusan BPHTB.“Dari pihak PPAT yang menjembatani obyek pajak juga bisa mendapat kejelasan. Dengan adanya solusi, diharapkan ke depan bisa menjadi langkah untuk optimalisasi PAD dari BPHTB ini,” tuturnya.
Angota Komisi B, Idi Amin mengungkapkan, di lapangan pihak PPAT sering kesulitan karena harga tanah seringkali tidak sama atau lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Menurutnya, NJOP tetap bisa digunakan tapi tidak menjadi dasar mutlak. Sebab di lapangan harga tanah dinamis.
Kendala dalam pengurusan BPHTB. Yang utama yakni seringkali harga jual beli tanah yang menjadi kesepakatan pihak pembeli dan penjual tidak dipercaya oleh BPKAD. Me
nurut Mirwan, sebagai PPAT pihaknya hanya menuangkan apa yang disampaikan masyarakat.
“Kami bukan penyidik, ketika klien datang dengan angka yang sudah disampaikan maka kita manut. Karena yang bicara deal itu para pihak. Kita tidak bisa internvensi terkait nilai transaksinya berapa. Namun yang berjalan, harga yang kami masukan selalu diminta untuk dicek oleh BPKAD,” jelas Mirwan.
Padahal menurut Mirwan, harga tanah sangat dinamis. Di lokasi yang sama, jika tanah yang dijual memiliki luas 1.000 m2 dengan 100 m2 maka harga yang disepakati pasti berbeda. Begitu juga dengan kondisi penjual dan pembeli. Jika penjual yang butuh untuk menjual tanah, maka harga bisa lebih murah tapi jika pembeli yang butuh tanah tersebut harga bisa lebih mahal.
Sementara Kepala BPKAD, Doyo Budi Wibowo menjelaskan, pihaknya tidak pernah melakukan negosiasi atas harga tanah maupun nilai transaksi. “Kami tidak lakukan negosiasi. Tapi sesuai dengan regulasi kami ada SOP bahwa setelah para pihak mengupload permohonan, di kami ada proses pengawasan dan pemeriksaan. Kalau hargaya sudah sesuai, maka langsung bisa diproses. Tapi kalau dari pengamatan kami ada hal yang kurang sesuai kami akan lakukan pemeriksaan dan ini diamanatkan dalam Perda dan Perwal,” jelasnya.
Doyo melanjutkan, harga tanah didasarkan pada NJOP atau zona nilai tanah yang dilihat berdasarkan transaksi yang pernah terjadi di suatu wilayah. “Kalau tidak wajar, jauh di bawah NJOP maka perlu kami lakukan pemeriksaan. Tapi tidak semua kami periksa karena faktanya dari 3.000an transaksi yang sudah dilakukan hanya 7,5% yang kami lakukan pemeriksaan,” tandasnya.(Sofi)