Views: 260
Jakarta, JAPOS.CO – Siapa sebenarnya ahli pers dan siapa pula ahli Dewan Pers?. Hal tersebut diungkapkan Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Kamsul Hasan, Rabu (12/2).
Menurut Kamsul, Ahli pers adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang hukum pers dan berbagai UU terkait pemberitaan.
Mereka disumpah jujur memberikan keterangan atas keahliannya tanpa tekanan siapa pun dan tidak boleh berpihak.
“Sedangkan ahli Dewan Pers adalah orang yang diberikan pelatihan tentang hukum pers sesuai UU Pers oleh Dewan Pers. Keterangan keahlian harus sejalan dengan Dewan Pers,” tutur Kamsul Hasan.
Keterangan atau pendapat ahli pers bisa sama dengan ahli Dewan Pers. Namun keterangan kedua ahli itu bisa berbeda.
Kamsul mencontohkan, masih ingat kasus tayangan Silet Selebriti di RCTI ? Iya, tayangan tentang Wedus Gembel Merapi, membuat Hary Tanoe jadi terlapor.
Polisi yang melakukan penyelidikan, sebelum gelar perkara meminta keterangan ahli dari berbagai disiplin ilmu. Seperti yang dilansir https://www.google.com/amp/s/m.tribunnews.com/amp/nasional/2011/09/06/ini-alasan-mabes-polri-hentikan-penyidikan-program-silet
Bahkan, kata Kamsul untuk menentukan tayangan Silet Selebriti itu produk jurnalistik atau bukan dihadirkan dua ahli bidang pers.
“Wina Armada yang saat itu anggota Dewan Pers hadir sebagai Ahli Dewan Pers. Kamsul Hasan, dimintai keterangan sebagai Ahli Hukum Pers dari PWI, ” lanjutnya.
“Dalam kasus Silet Selebriti, Ahli Dewan Pers dan Ahli Hukum Pers (PWI) sama-sama menyatakan, tayangan itu produk jurnalistik, “ungkap Kamsul.
Lebih lanjut, dalilnya adalah Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2 dan Pasal 9 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Kasus ini akhirnya di-SP3 dan Hary Tanoe tidak naik menjadi tersangka.
Beda dengan kasus Silet Selebriti, perang ahli terjadi di PN Jakarta Pusat, saat Kepala RRI Jakarta, Sarwono dijadikan terdakwa.
Sementara ahli Dewan Pers, Leo Batubara memberikan keterangan telah terjadi sensor sebagaimana Pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 18 ayat (1) UU Pers yang ancamannya dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.
Sebelumnya, pengacara Toro Mendrofa dari LKBPH PWI Jaya, kuasa hukum Sarwono, menghadirkan Ahli Pers Kamsul Hasan yang membantah keterangan Ahli Dewan Pers.
“Bahwa apa yang dilakukan Sarwono sebagai Kepala RRI Jakarta bukan bentuk penyensoran tetapi fungsi pers dan mekanisme kerja jurnalistik, “terangnya.
Sesuai Pasal 12 UU Pers, tanggung jawab akhir atas pemberitaan berada pada penanggung jawab. Terkait kasus ini penanggung jawab adalah Kepala RRI Jakarta.
Editing oleh penanggung jawab adalah fungsi dan mekanisme kerja jurnalistik. Apalagi sistem pertanggungjawaban pers ada pada korporasi, Sarwono pun bebas.
Perbedaan keterangan ahli, menurut Ahli Pers dan Ahli Dewan Pers lainnya adalah, Ahli Pers masih menggunakan UU lain bila tidak melanggar konstitusi.
Ahli Dewan Pers, hal ini karena ditunjuk Dewan Pers memberikan keahlian harus sesuai kebijakannya dengan dalil, kemerdekaan pers dan gunakan hanya UU Pers semata.
Sementara Ahli Pers masih memungkinkan pengguna hukum di luar UU Pers, apalagi secara hirarki kedudukan lebih tinggi.
“Perbedaan mazhab ini bukan hanya terjadi pada sesama ahli pers, tetapi juga pada kalangan hakim agung di Mahkamah Agung RI, “jelasnya.
Kasus Radar Jogja VS Pemilik Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan kasus Tomy Winata VS Tempo di Jakarta, cerminkan perbedaan itu.
Artidjo Alkostar, merupakan hakim agung yang mazhab sama dengan Ahli Pers, dia menghukum penanggung jawab Radar Jogja gunakan Pasal 310 KUHP.
Bagir Manan yang menjadi Ketua Mahkamah Agung saat Artidjo memutus dengan KUHP membuat putusan lain. Kasasi Tempo yang divonis dengan KUHP diterima, penggunaan KUHP harus dihindari.
Perbedaan pendapat itu melahirkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 13 tahun 2008. Intinya apabila terjadi sengketa pemberitaan majelis diminta menghadirkan Ahli Dewan Pers.
Selain SEMA 13, belakangan lahir MoU Dewan Pers dan Kapolri pada 2012 di HPN Palembang. MoU diperpanjang pada HPN Ambon 2017 hingga tahun 2022 mendatang.
Amankah pemberitaan dari hukum di luar UU Pers ? Ternyata tidak, polisi sebagai penyidik pada beberapa daerah gunakan KUHP dan atau UU ITE untuk menjerat atau selesaikan sengketa pemberitaan.
Berbagai dalil digunakan, antara lain soal badan hukum tidak sesuai UU Pers, verifikasi perusahaan pers, status kewartawanan sampai unsur itikad buruk. (ric)